Mohon tunggu...
Mohammad Fajar
Mohammad Fajar Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

nice to meet you...\r\nhttp://fjr66.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lika liku mencari Uang Bagi Pemuda Perantau

30 September 2015   10:42 Diperbarui: 30 September 2015   10:42 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siput Ngantuk

HIdup ini bermula ketika sel sperma ayah bertemu dengan sel telur ibu dan membentuk zigot. Hidup memang sesuatu yang  agak sulit dipahami. Khususnya bagi saya ini: manusia dengan seribu satu kekurangan. Ada satu hal yang menarik dalam hidup saya ini, yakni bahwa saya ini cerdas. Cerdas dalam artian saya ini bisa memikirkan apa yang terjadi. Bukan seperti pemuda pedalaman hutan Amazon yang hanya bisa memikirkan makan, makan, dan makan. Dan juga beranak.

Saya kemudian mendapati diri saya berada di tengah Kota Jakarta. Kota yang sangat kejam. Kota di mana kalo Anda cuma diam saja, Anda akan semakin ditindas. Kota di mana untuk mendapatkan ketenangan, Anda harus memiliki ilmu kebal, agar ga habis mati dibantai seperti Basri Sangaji. Kota di mana berlaku motto, “berakit-raki kita ke hulu, berenang-renang kita ke tepian. Bersakit dahulu, senang pun tak datang, malah mati kemudian.” Kota di mana tak ada lagi cita-cita yang bisa Anda pikirkan selain selamat sampai pulang.

Di kota Jakarta ini orang bertindak bagai binatang. Khususnya masyarakat Jawa. Suku bangsa yang sangat spontan mengkritisi kekurangan Anda. Mungkin ini ada sangkut pautnya dengan keturunan: bahwa dulu orang Jawa masih menggunakan sistem kasta, di mana dalam kontrak sosial, strata yang paling rendah itu kasta sudra, kasta para budak yang pantas diludahi.

Kalimat yang saya sering saya jumpai di Kota Jakarta ini ketika berpapasan dengan orang Jawa adalah: “apa dia ga tau mukanya seperti itu?” Sebenarnya bukan cuma orang Jawa, tapi orang Sunda juga, orang Batak juga. Tapi karena di Jawa ini penduduknya banyakan orang Jawa yang hobi ngelawak, semuanya menjadi sangat pedih. Gaya bicara, intonasi, kalimat yang digunakan dalam membahas saya itu sangat-sangat tidak dapat ditolerir. “Apa dia ga tau wajahnya seperti itu?” Pertanyannya adalah “kenapa orang-orang menduga kalo saya itu ga tau wajah saya seperti itu?”

Saya kadang berfikir, apakah perlu saya membunuh seseorang yang muncul di TV, agar seluruh suku Jawa di pulau Jawa, khususnya Jakarta ini bisa paham kalo saya memang tahu wajah saya seperti apa. Sebab dengan TV, informasi bisa tersebar. Tersebarnya bukan cuma sebatas di Jakarta atau sebatas di Pulau Jawa. Akan tetapi bisa mencapai Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Sumatera.

Kemarin saya ketemu orang Cina (alias Tionghoa), dia ngatain ke saya: “masa cuma dikatain ba… aja dia udah tersinggung.” Padahal dia mungkin udah lupa  kalo dia sempat ngatain: “ngapain cuma ba… sekalian aja mulut babi, atau kepala babi, tanggung kalo cuma ba…” Bisa ga suku Jawa dan Cina itu menghentikan kebiasaan ngelawak mereka yang sangat menyiksa batin itu?

Andaikan TV one itu tayangnya hanya seputar Jakarta, mungkin hidup ini jauh lebih mudah. Tapi ternyata TV one tayang sampai ke Desa saya. Desa tempat di mana saya harus beristirahat dengan tenang. Dan ketika saya menjumpai bahwa ketidaktenangan saya sedikit banyak dipengaruhi oleh kontribusi TV one, bisakah saya menyalahkan TV one dan mengakhiri hidupnya seperti John Lennon? Kita tunggu saja bagaimana jalan cerita hidup saya yang selanjutnya.

Sabar, kata orang. Kesabaran ga ada batasnya. Padahal menurut saya, orang-orang tersebut mestinya sekolah, kuliah, dll sampai selesai sebelum menasehati orang dengan kalimat sabar. Sebab untuk kategori orang yang berasal dari Sulawesi, saya ini sudah tergolong sangat sabar. Di sulawesi, Anda nginjak kaki orang aja langsung dibunuh. Beradu pandang saja bisa ditikam. Nyenggol bahu aja bisa dipukulin batu ke muka Anda. Polisi aja didor ama anak buahnya di Sulawesi cuma gara-gara urusan sepele, dll ketidaksabaran. Lantas ada yang berkata, “jangan samakan Sulawesi dengan di Jakarta.” Iya, saya sebenarnya tidak menyamakannya, sampai saya dapati siaran TV one itu sampai ke Sulawesi.

Ya, kita liat aja nanti, sampai di mana jalan hidup saya. Anggap aja tulisan ini sebagai pelengkap drama hidup saya.

Kemarin saya dapati ada satu pemuda suku sunda yang sekosan dengan saya. Memang orang sunda secara DNA tukang ngelawak. Saya lagi ngerjain tugas kuliah. Kemudian dia entah kenapa, teriak teriak di jendela kamar saya, bilang tahi, tahi, dan tahi. Dan saya sampai pada titik bahwa kesabaran saya sudah habis. Biar aja kuliah saya ancur. Ya udah, saya tendang aja itu orang. Memang sih kalo sekedar menendang ga terlalu kriminal. Tapi setidaknya itu sudah memberi keterangan kalo saya itu bukan orang yang bisa diajak becanda sampai kelewatan. Saya juga manusia yang punya batas kesabaran. Dan parahnya saya terjebak di Kota Jakarta yang didominasi oleh orang Jawa dan orang Sunda yang jiwa ngelawaknya begitu kental, what the fuck.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun