Entah kenapa saya merasa bahwa hidup dunia ini adalah hukuman. Hukuman dalam artian segala sesuatu itu sifatnya kewajiban. Manusia diciptakan dengan salah satu hukuman bahwa manusia adalah 80 persen makhluk sosial. Kemudian hukuman lainnya adalah manusia harus hidup berpantang yakni menjauhi hal-hal yang menyenangkan. Bayangkan, kita hidup di dunia, hanya ada dua hal di dunia ini yang bisa kita konsumsi tanpa batas, yakni udara dan air. Dan dua-dua nya tanpa rasa alias hambar. Namun ada seniman yang berkata bahwa air murni itu seperti istri kita. Jika sebulan tidak ditemukan rasanya sangat mendahagakan. Anehnya jika melimpah justru cenderung membosankan dan menghampakan. Kita kemudian lebih memilih meminum susu coklat, atau air orson yang tersedia di warung. Maksud 80 persen makhluk sosial adalah kita tidak bisa hidup tanpa bantuan makhluk lain. Minimal ada seekor anjing atau kucing yang menjagai rumah kita; ada sapi yang membantu membajak sawah kita; ada ayam yang memberi kita telur untuk digoreng jika kita kelaparan; ada kelapa yang mendatangkan buah untuk diambil minyaknya (untuk dipakai menggoreng telur ayam). Tanpa ada makhluk lain, manusia otomatis mati. Bahkan seorang Tarzan tanpa ditemani pepohonan yang menyediakan tali tali buat dipakai bergantungan ke sana kemari akan mati. Jika kita kemudian mencoba mengkonsumsi 8 liter susu coklat tiap hari, sebulan kemudian kita akan mati karena diabetes, ironi.
Kemarin waktu saya di ITB, ada seorang teman yang namanya Wawan. Wawan ini punya cita-cita untuk membuat perpustakaan besar untuk menyimpan koleksi buku-bukunya. Dia berpelancong ria kesana kemari hanya untuk mengumpulkan buku-buku untuk mengisi perpustakaan tersebut. Katanya dia akan mewanti-wanti keturunannya agar menjaga koleksi buku bersamaan dengan perpustakaan tersebut, agar perpustakaannya abadi. Mungkin dengan asumsi namanya juga bakal abadi. Namun apa yang dilakukan Wawan sebenarnya juga masih ironi. Bagaimana mungkin ada perpustakaan yang abadi? Delapan miliar tahun dari sekarang, matahari akan mengalami ledakan supernova. Dan ketika itu terjadi bumi akan terpanggang dan ditelan oleh matahari termasuk makhluk-makhluk yang berdiam di dalamnya. Jadi ini mungkin yang dimaksud dengan jargon bahwa “Islam tidak bertentangan dengan sains, malah Islam yang mendahului sains”. Sebuah hadits yang mungkin pembaca sudah pernah baca mengatakan bahwa, pada saat kiamat matahari itu berada satu jengkal di atas kepala kita. Ledakan supernova itu merupakan fase terakhir dari siklus bintang-bintang, dan kebetulan matahari juga salah satu dari bintang-bintang tersebut.
Tapi kalo itu memang benar, maka agak aneh juga jika Nabi Muhammad harus diutus 1500 tahun yang lalu. Itu terlalu dini. Kenapa Nabi Muhammad tidak diutus pada saat-saat menjelang ledakan supernova tersebut? Atau 100 tahun sebelum ledakan supernova tersebut. Jarak antara Nabi Muhammad dan Nabi Isa itu sekitar 600 tahun. Dan jarak antara Nabi Muhammad dan Nabi Adam (berdasarkan silsilah kenabian yang dipaparkan oleh Said Agil Siradj) itu tidak sampai 10 ribu tahun. Sementara kiamat masih 7 koma 999999 miliar tahun lagi. Masih terlalu lama. Orang yang mati dalam keadaan kafir pada saat sekarang ini akan mendapatkan siksaan kubur yang begitu lamanya. Yang enak justru orang kafir yang mati pada saat ledakan supernova tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H