Pemerintah tengah menghadapi polemik terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, kritik dan masukan dari berbagai pihak terus bermunculan, khususnya terkait dampak kenaikan ini terhadap daya beli masyarakat dan pelaku usaha kecil.
Wacana Selektivitas Penerapan
Dalam upaya meredam kekhawatiran publik, muncul usulan dari DPR agar PPN 12 persen hanya diberlakukan pada barang-barang mewah. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa kebutuhan pokok dan layanan publik seperti jasa kesehatan, pendidikan, serta jasa perbankan akan tetap dikenakan tarif PPN 11 persen. Usulan ini disampaikan dalam pertemuan antara pimpinan DPR dan Presiden Prabowo Subianto pada 5 Desember 2024.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios), penerapan multitarif PPN berpotensi menciptakan kebingungan, terutama bagi pelaku usaha yang harus menghitung pajak dengan tarif berbeda untuk berbagai jenis barang. Bhima menilai, solusi terbaik adalah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus pasal kenaikan PPN menjadi 12 persen dalam UU HPP. "Langkah ini dapat lebih efektif dalam menjaga daya beli masyarakat," ujarnya.
Kebutuhan Kajian Komprehensif
Di sisi lain, Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Herman Khaeron, menekankan pentingnya kajian mendalam sebelum menaikkan PPN. Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari kebijakan ini. Herman mengingatkan bahwa kebijakan pajak tidak boleh membebani masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah. Menurutnya jika kenaikan PPN hanya diterapkan pada barang mewah, pemerintah perlu mengomunikasikan kompensasi yang akan diberikan kepada masyarakat agar dampak kebijakan ini tetap terkelola dengan baik.
Tantangan dalam Pengawasan
Anggota Komisi VI DPR RI, Firnando H Ganinduto, menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat terhadap implementasi PPN 12 persen. Ia meminta pemerintah memastikan bahwa tarif baru hanya dikenakan pada barang-barang mewah dan tidak membebani produk-produk hasil Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Firnando juga mengingatkan agar pemerintah bertindak tegas terhadap pengusaha yang mencoba menghindari kewajiban pajak. Ia berharap kenaikan tarif ini dapat menjadi momentum untuk mendorong perkembangan sektor UMKM tanpa menimbulkan beban tambahan. Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menyuarakan kekhawatiran serupa. Ia menilai penerapan PPN 12 persen secara menyeluruh berpotensi memberatkan pelaku usaha kecil, terutama mereka yang baru memulai bisnis. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan ini guna memastikan tidak ada kelompok usaha yang terdampak secara tidak proporsional.
Dampak Kenaikan PPN terhadap Sektor Ekonomi
Kenaikan PPN menjadi 12 persen juga memicu diskusi mengenai dampaknya terhadap sektor ekonomi secara keseluruhan. Beberapa ekonom menilai bahwa penerapan tarif baru dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi. Penurunan daya beli ini dikhawatirkan akan berimbas pada menurunnya tingkat konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, sektor usaha, terutama UMKM, juga dapat mengalami tekanan akibat kenaikan tarif pajak. Banyak pelaku usaha kecil mengandalkan margin keuntungan yang tipis, sehingga tambahan beban pajak dapat mengganggu keberlanjutan usaha mereka. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif atau perlindungan khusus bagi UMKM agar tetap mampu bersaing di pasar domestik.
Komitmen Pemerintah Diperlukan