Bentar lagi liburan akhir tahun, seorang teman memantik percakapan "enak lo tinggal di sono, pikiran kaya engga ada beban, lah gua kerja dari ayam belum berkokok sampai abang lapak martabak tutup, kayanya gue musti pindah ke kota slow living" kelakarnya sambil menyeruput teh panas.Â
Sambil menerka kelanjutan curhatannya yang isinya penuh keluh kesah, saya coba memahami diksi slow living yang dia sampaikan. Apakah slow living sebuah konsep gaya hidup? Atau identifikasi wilayah ? apakah slow living lebih baik dari fast living (kata ini saya pakai untuk membandingkan arti harfiah slow dan fast) ? dan sejauh apa manfaat slow living dalam hidup seseorang ?
Tidak disangkal bahwa hidup di tengah gelombang informasi, butuh kekuatan mental dan nalar kritis. Jangan sampai jadi korban informasi salah, sebab kemunduran nalar seseorang dimulai dari kebuntuan merespon secara bijak segala yang dilihat, dibaca, dan didengar.
Inilah sebab muasal dari keinginan diri berada di kondisi slow living. Konsepsi slow living berawal dari sebuah pemahaman diri bahwa wilayah/peristiwa tertentu dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Fokus dari slow living adalah kualitas bukan kuantitas. Sehingga yang ingin dicapai yaitu pertama, pendekatan berlahan (slow perspective), yang dimaksud ialah meredam segala bentuk emosi berlebihan, dimana umumnya ketidakmampuan mengontrol emosi berakibat pada kesalahan pengambilan keputusan. Untuk itulah "perlahan-lahan " dianggap lebih bijaksana. Kedua, keintiman emosional (emotional intimacy), upaya membangun kepercayaan, empati serta koneksi yang mendalam. Manusia modern terlalu cepat dalam menerima informasi dan menyebarakannya. Padahal proses verifikasi dan analisis jauh lebih utama untuk dilakukan. Kurangnya hal tersebut akan berdampat terhadap tergerusnya rasa empati dan hilangnya saling percaya.
Ketiga, Kesabaran (patience) tujuannya adalah tidak terburu-buru dalam pengambilan keputusan dalam sebuah hubungan (pertemanan, pekerjaan, cinta) dan terakhir, kehadiran penuh (being fully present), dengan selalu menikmati moment sekecil dan sesederhana apapun, karena dengan hal kecil saja sudah bersyukur apalagi menerima hal yang jauh lebih besar, pastilah jauh lebih menikmatinya.
Fast living tidak salah, asal sesuai konteks
Paradoks yang muncul adalah slow living akan selalu menegaskan segala yang berlahan itu pasti baik/maju, dan segala bentuk kecepatan (fast) merupakan sebuah kemunduran.
Kita mesti adil menempatkan kedua konsep ini pada konteks kehidupan warga urban, mengapa warga urban, jawabannya adalah orang urban selalu merasa kehidupan yang slow pastilah jauh lebih tenang dan membahagiakan.
Apabila yang dimaksud pada konteks wilayah, maka tentu jawabnya seputar desa dan kota, metropolitan dan rural, pusat dan daerah/pelosok. Dengan pijakan kuat bahwa slow living tidak melulu hal baik, sebaliknya fast living adalah penyakit akut kelompok urban, kita akan jauh lebih dewasa memahami keterpautan kedua konsep ini.
Dampak konsepsi Slow living tentu bermanfaat menurunkan tingkat penetrasi tekanan hidup, saat bersamaan perlu dielaborasikan dalam bentuk yang lebih konkret tidak hanya sebatas keinginan semata. Begitu pula ruang aplikatif dalam keseharian perlu penyadaran terhadap slow living yang terus menerus di terapkan. Jadi konteks kita ingin menerima slow living adalah pribadi yang lebih tenang dan reflektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H