Sekelabat muncul pertanyaan belakangan ini berkenaan dengan nasib kelas menengah. Tentu saja muara dari pemikiran tersebut adalah kondisi negeri yang masih berada pada level "Negara berpendapatan menengah". Bahkan miris mengakui nengeri ini terjebak dalam kubangan negara menengah (middle income trap).Â
Boleh jadi alasannya mungkin kondisi geopolitik dunia sedang tergopoh-gopoh bangkit dari keterpurukan pasca didera pandemi covid dengan skala dan cakupan global.Â
Efeknya Indonesia, selagi fokus meningkatkan tarif kehidupan rakyatnya melalui ekonomi berkeadilan dan setara, juga dihantui oleh permasalahan kondisi makro yang belum sepenuhnya pulih.
Oiya, kelas menengah berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Bank Dunia berada di level 2 dan 3 yaitu dimulai paling rendah adalah kelas masyarakat miskin, rentan (vulnerable), lalu beranjak ke aspiring middlle class / menuju kelas menengah, kemudian kelas menengah, dan puncaknya kelas atas  (High Classi).Â
Lantas keberadaan kelas menengah Iindonesia bagaimana kabarnya? Patut diwanti-wanti negara ini masih kesulitan meningkatkan level kesejahteraan dan kelas rakyatnya.
Merujuk laporan Bank Dunia bertajuk "Aspiring Indonesia -- Expanding the Middle Class" menjelaskan hampir separuh rakyat Indonesia berada di kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class) atau sekitar 44% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 261 juta jiwa pada 2016. Jumlah kelompok ini adalah yang terbanyak diantara seluruh kelompok lain.
Pengeluaran kelompok menuju kelas menengah berdasarkan Bank Dunia adalah sebesar Rp. 532.000 sampai Rp. 1.200.000 orang per bulan atau sebesar Rp. 17.733 sampai Rp. 40.000 / hari. Perbandingan saja terhadap upah minimum terendah di Indonesia yaitu Rp. 1.700.000, masih dapat mengakomodir dengan selisih Rp 500.000.Â
Dengan hitungan tersebut dapat dianalisis bahwa masyarakt di Indonesia masih banyak yang memperoleh pendapatan dibawah ketentuan upah minimun, boleh jadi hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha, tidak berjalan secara adil dengan tidak seimbangnya pendapatan terhadap pekerja di sektor informal yang ada di wilayah Indonesia.
Lalu, akhirnya tidak sedikit masyarakat yang menggunakan potensi tabunganya untuk keperluan kehidupan sehari-hari. Betapa banyak pekerja yang belum berbilang hari, gajinya telah habis untuk memenuhi keperluan rumah tangga dan cicilan, dampaknya adalah tabungan yang diharapkan sebagai investasi dan dana cadangan ikut tergerus.
Jangka panjang tentu dapat diproyeksikan akan tumbuhnya kelompok masyarakat yang terlilit hutang bahkan tidak sedikit yang akhirnya menjual aset untuk menutupi hutang jatuh tempo. Ungkapan "makan tabungan" pun menyeruak di kalangan kelas menengah sebagai respon atas ketidakmampuan menghadapi tingginya biaya hidup yang semakin menjulang, sulit untuk diraih bahkan dicapai.
Tantangan bagi Indonesia untuk menekan laju turun levelnya kelompok menengah adalah dengan memperhatikan kebijakan ekonomi yang inklusif, sehingga perputaran ekonomi berjalan secara kondusif melibatkan setiap kelompok masyarakat, lebih-lebih akan menumbuhkan kelompok menengah baru dan memperbanyak kesempatan untuk meningkatkan taraf kehidupan yang jauh lebih baik.