Tinggal menghitung hari, parade pelaksanaan rangkaian debat Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) akan dimulai.Â
Dibutuhkan strategi tepat guna dan tepat sasaran dalam menumbuhkan tingkat keterpilihan dan ikatan emosional-psikologis pemilih.Â
Diakui bahwa hingga kini, masa kampanye  masih didominasi oleh gimik politik,  nir-gagasan atau ide, sehingga hanya menyasar emosi pemilih.Â
Bandingkan dengan kampanye  berbasis dialektika-gagasan, program serta orientasi visi misi menyelesaikan persoalan negara hari ini dan di masa depan, pemilih akan memiliki preferensi politik yang solid karena berdasarkan di tataran gagasan dan implementasi terhadap visi misi setiap kandidat.Â
Tentu  saja hal tersebut, selain menaikan level demokrasi kita dari demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial demi kesejahteraan dan peningkatan taraf kehidupan rakyat.
Penggunaan gimik dalam politik tentu hal yang biasa, contoh bagaimana fenomena gimik politik seputar capres berseliweran di ruang publik, "Joged Gemoy". "Selepet Sarung" serta salam "three finger salute" ala film The Hunger Games memenuhi jagad perpolitikan tanah air.
Contohnya, Pasangan Prabowo- Gibran gencar dan masif dengan ragam multisaluran mendengungkan gimik politik dengan tujuan menyasar pemilih milenial dan generasi Z yang berjumlah lebih dari 113 juta pemilih.
Itu artinya dua golongan generasi ini mendominasi pemilih pemilu 2024 yakni sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih.Â
Pemanfaatan media luar ruang seperti baliho dengan figur mengemaskan ala kecerdasan buatan (AI), joged gemoy dan meme yang mengundang gelak tawa muncul riuh rendah di media sosial.
Yang jadi perhatian cukup serius adalah jangan sampai gimik politik dilakukan tanpa tendeng aling-aling sehingga melupakan dan menghilangkan substansi dari pemilihan pemimpin yaitu adu gagasan dan ide sebagai cara menyakinkan pemilih untuk menilai calon pemimpin mereka yang secara gagasan, ide dan program pantas serta layak menahkodai bahtera yang bernama Indonesia.