Saya awali tulisan ini dengan kehitmatan do'a, harap dan moga pandemi cepat berlalu. Isyarat pemerintah menjanjikan vaksin dapat terdistribusi akhir tahun 2020, ibarat oase --dinanti penuh cemas tapi jangan terlalu terbuai pula.Â
Selanjutnya saat pemerintahan Jokowi dihadapkan pada persoalan upaya menekan grafik peningkatan terkonfirmasi positif (positivity rate) dibawah 5%, ada sendu di kala memelototi angka kematian, naik bak rollercoster, dan turun sekelabat mata karena potensi kenaikan akan selalu ada.Â
Dari kejauhan perfoma pemerintah memulihkan perekonomian masyarakat, terus dipertanyakan. Apakah suara sumbing yang hilir mudik di berbagai kanal informasi, benar adanya bahwa garis komandan pemerintah terhalang oleh ego sektoral dari beberapa pemerintah daerah.
Jujur, saya bukanlah pengulas kebijakan sosial yang punya kapasitas baik. Namun kecenderungan beragam kebijakan PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) serta penangan Covid-19 berjalan dalam lorong gelap, hanya berharap adanya cahaya di ujung sana. Benar, penantian itu bernama Vaksin.
Sebelum Vaksin resmi dideklarasikan dan terdistribusi secara massif, saya dan kamu masih harus "harap-harap cemas" sembari sholat jangan dilupakan --bagi umat muslim-- dan doa tidak putus --bagi penganut keyakinan lainnya. Boleh jadi kondisi yang kita rasakan bersama jadi kado istimewa menyambut peralihan tahun depan. Atau Covid 19 ancaman Tuhan bahwa Dia sedang marah kepada saya dan kamu. Jawab sendiri ya, tapi jangan terlalu diresapi atau diacuhkan tanpa kontemplasi berarti.
Baiklah saya tahu substansi dari tulisan ini belum diutarakan, Kenapa? karena boleh jadi kita masih merasa kelu dan nestapa, sebegitunya virus ini memporak-porandakan mimpi indah, rencana terkonsep, serta agenda baik yang tinggal menanti eksekusi, tetap saja kepatuhan dan kedisiplinan akhirnya menjawab kegelisahan terpapar Covid-19.
"Pakai Masker" petuah itu larut di ruang bawah sadar kebanyakan masyarakat dunia, tidak terkecuali di negeri tercinta, Indonesia. Lalu muncul diksi dengan balutan argumentasi kental mempertanyakan keabsahan dan keakuratan, sejauh mana penggunaan masker melindungi saya dan kamu terpapar infeksi saluran pernafasan akut / sindrom pernafasan jenis corona 2 (Covid -- 19), secara medik berdasarkan laporan WHO outlook Agustus 2020 menjelaskan presentase terpapar antara menggunakan masker dan tidak cukup tinggi, tapi tunggu dulu, masker yang kita gunakan harus sesuai dengan standar perlindungan dan jangan pernah abai untuk menjalankan laku protokol kesehatan.
Singkatnya Penggunaan Masker jadi jawaban meredam semakin luasnya penyebaran virus corona. Normatif dan argumentatif, tapi saya boleh mengatakan penggunaan masker dan kepatuhan menjalankan protokol kesehatan akan tidak efektif bahkan kontradiktif saat kondisi kesejahteraan sosial dan ekonomi publik terabaikan.Â
Lantas perlukah kita akhirnya terjebak dalam komedi putar bernama "duluan mana corona atau makan" sama seperti adagium "duluan mana ayam atau telur". Pusing kan! sama seperti lelah terus membahas perilaku elite politik negeri ini yang masih sempat mempedulikan kepentingan elektoralnya.
Lagi, pentas panggung rakyat direbut oleh kepentingan kelompok "elite" untuk memperjuangkan kepentingan kuasa. Kontestasi politik pada akhirnya akan dilaksanakan karena sudah "deadline" menurut ketentuan umum yang berlaku. Mau kita di tengah gejolak peperangan atau benar-benar berada pada potensi konflik sosial dan krisis kesehatan. Peralihan kuasa melalui mekanisme elektoral musti kudu harus terus berjalan.Â
Bagi saya yang bukan apa-apa dan tidak memiliki apa-apa untuk dibanggakan dan masih banyak rakyat yang sebenarnya menanti kepedulian pemerintah baik pusat dan daerah untuk "menafkahi" sepanjang krisis kesehatan berlangsung. Tidak jadi soal siapa yang terpilih, mengantikan siapa, atau siapa bertahan di tampuk kuasa, yang jadi soal adalah arus logika rakyat terbentur oleh kehampaan logistik untuk bertahan hidup.