Selang satu jam kami sudah berada pada garis sempadan RI dan Kerajaan Malaysia. Hanya ada tonggak kecil sebagai penanda. Sama sekali sepi, tidak ada orang yang berjaga, tidak ada pos. Jadi kami lewat begitu saja tanpa pemeriksaan.
Sejak itu kami menelusi jalan setapak yang berada di wilayah Malaysia. Hanya saja jalan di wilayah Malaysia ini nampak sudah ada sentuhan pembangunan. Walau masih berupa tanah campur batu, tapi keadaannya lebih baik dari jalan setapak di wilayah Indonesia. Jalan setapak di wilayah Malaysia sudah lebih rata dan lebar sehingga bisa dilewati kendaraan roda empat.
Suasana masih sangat sepi. Sepanjang perjalanan kami hanya satu kali berpapasan dengan penduduk setempat. Kiri kanan jalan masih berupa belukar atau hutan sekunder. Tidak ada lagi pohon besar. Belum ada tanaman atau kebun budidaya.
Setengah jam setelah melewati perbatasan kami mampir pada sebuah rumah kecil. Rumahnya sederhana namun layak huni, luasnya tidak lebih 25 meter persegi. Tidak ada penghuninya, tidak ada meja dan kursi, tidak ada perabot rumah tangga juga. Yang ada hanya sehelai tikar. Rupanya rumah ini oleh pemiliknya digunakan sebagai rumah persinggahan.
Saya berjalan mengililingi rumah tersebut, sesampai di bagian belakang rumah saya melihat ada kran air. Saya putar krannya, eh ada airnya ngucur. Saya coba telusuri jaringan pipanya, ternyata airnya dari jaringan pipa milik perusahaan jawatan air minum Sarawak. Semacam PDAM di negara kita.
Di situ saya sangat salut dengan pemerintah Malaysia. Kebutuhan dasar penduduknya benar-benar diperhatikan dan dilayani, walau letaknya diperbatasan negri. Saya perkirakan jaraknya 3 km dari kampung / pemukiman pertama yang kami tuju.
Saat pertama memasuki pemukiman penduduk saya masih dibuat kagum dengan fasilitas umum yang tersedia di negri jiran ini. Tidak hanya jaringan listrik yang sudah tersedia, sambungan telepon juga sudah ada. Benar-benar bikin iri.
Tahun 1986, Saat itu Indonesia baru gencar melaksanakan program Listrik Masuk Desa. Saat itu pesawat telepon masih merupakan barang mewah dan langka, bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta apalagi di kota-kota kecil di daerah.Â
Dikampung ini (saya lupa apa nama kampungnya) kami mencari kendaraan untuk ditumpangi menuju kota BAU, iya nama kotanya BAU. Lihat peta. Sambil menunggu jadwal keberangkatan kami numpang istirahat di salah satu rumah penduduk. Tampaknya penghuni rumah sudah terbiasa dengan kedatangan "tamu kehormatan dari luar negeri" seperti kami.
Saya menebar pandangan ke ruangan dalam rumah itu. Saya lihat ada seorang gadis pelajar sedang asik membaca buku Novel. Dia tidak menghiraukan kedatangan kami. Yang membuat saya salut lagi, lagi-lagi salut adalah buku Novel yang dibacanya berbahasa Inggris. Ck ck ck. Anda tentu sudah bisa simpulkan sudah sejauh mana jangkauan dan pemerataan pendidikan di negri jiran ini.
Menuju kota Bau kami menyewa mobil van pribadi milik penduduk asli suku Dayak. Lagi-lagi saya dibuat sedikit kagum. Kenapa? Karena yang menyetir mobil van itu adalah seorang ibu muda. Iya seorang wanita. Disaat yang sama di negri kita, mobil pribadi masih sangat langka.