Mohon tunggu...
Mohammad Mujab
Mohammad Mujab Mohon Tunggu... lainnya -

?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Imaginer] Rumah Tua

20 Februari 2012   18:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:24 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam denyut nadi malam dingin yang memompa jantungku lebih cepat berdetak aku menelusup mengejar masa lalu. Kutemukan berjejer gedung-gedung tua, kosong tak terurus, suwung tak berpenghuni, sepi melebihi malam yang sunyi. Merinding aku ketika mendengar suara yang tiba-tiba menyapa dari balik legelapan, tahunya itu suara dinding-dinding bangunan yang merintih sedih.

"Beginikah kalian membangunku dari ketiadaan untuk dibiarkan"

"Siapa kau?" tanyaku kaget.

"Aku adalah dinding di sebelah kirimu. Aku adalah saksi saat ayahmu dilahirkan, aku juga menyaksikan proses ketika ayah dan ibumu membuatmu. Demikian itu aku tetap diam dan merahasiakan semua aib yang terjadi di rumah ini! Tapi inikah cara kalian membalasku?"

Ia diam sebelum sempat aku menemukan dari dinding bagian mana suara itu muncul. Suara yang seperti hantu itu sungguh mengusik kesunyian dengan pertanyaan anehnya. Aku tak bisa menjawab, dan hanya diam saja.

"Bagaimana anak muda? Beginikan cara kalian membalasku."

"Maaf aku tidak tahu apa yang kau maksud. Tapi, bukan kah kami telah merawatmu, mengecatmu setiap tahun, membersihkan sawang, debu dan kotoran-kotoran di lantaimu. Apakah itu kau bilang kami membiarkanmu?" sanggahku.

"Ah ternyata kau tidak tahu untuk apa sebuah rumah dibangun? jika hanya untuk dibiarkan seperti ini, tentu dahulu aku memilih ketiadaan. Rumah dibangun itu untuk ditempati, anak muda, bukan dibiarkan seperti ini? Seperti halnya dirimu dilahirkan untuk diasuh dan dididik bukan untuk ditelantarkan! Boleh kau pindah ke rumah barumu yang jauh lebih bagus, karena kau sekarang sudah menjadi orang kaya, dan aku sudah tidak layak untukmu, aku bisa memaklumi itu. Tapi, aku tidak bisa menerima jika kau biarkan kosong seperti ini. Aku dibangun untuk dihuni, anak muda! Jual lah kalau memang kau tak suka, atau sewakan kepada orang lain!"

Demikian lah percakapan singkat yang tak pernah kuketahui siapa lawan bicaraku. Tapi keesokan harinya aku segera menjawab tuntutannnya. Rumah tua peninggalan orang tua itu aku sewakan, gedung kosong yang dulunya untuk menyimpan tembakau kini aku manfaatkan menjadi tempat belajar. Percakapan itu mennyedarkanku, bahwa setiap sesuatu mempunyai hak, jika kita tak bisa memenuhinya, biarkan orang lain yang menunaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun