Mohon tunggu...
Eko Israhayu
Eko Israhayu Mohon Tunggu... Dosen - dosen

Eko Sri Israhayu, tinggal di Purwokerto. Suka mendengarkan musik. Melalui kompasiana ingin menimba ilmu, dan saling berbagi. Terutama berkait dengan bidang kepenulisan dan masalah kependidikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keindahan pada Secangkir Kopi

22 Juni 2015   01:58 Diperbarui: 6 Juli 2015   04:42 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku percaya, jika tulisanku ini dibaca oleh seseorang yang tidak sehaluan pikir denganku, tentu akan keberatan dengan tajuk yang kutulis ini, yakni “Keindahan pada secangkir kopi”.

Ya..ya... masalahnya aku pernah digugat seorang kawan ketika menyatakan sesuatu yang dianggap indah tersebut. Aku memang pernah mengatakan pada kawanku itu bahwa kelok sungai Serayu sungguhlah indah. Aku pernah bermain-main dengan anakku di bibir sungai Serayu itu, saat anakku masih kecil (4 tahun-an). Anakku saat itu berlarian riang melempar batu genteng di permukaan sungai Serayu, dari tepi sebelah barat ke ke tepian sebelah timur. Lempengan genteng  diluncurkan dengan gerakan cepat  di permukaan air,  membuat lempengan genteng tampak melompat-lompat penuh irama di atas sungai itu. Sungguh menjadi kenangan yang indah bagiku. Di bibir sungai Serayu itu aku dan anakku mengamati air yang mengalir tenang. Tentu juga memandangi ikan-ikan yang menari-nari di pintu pembukaan air. Gemericiknya terlihat demikian deras, seakan menggambarkan bahwa di balik ketenangan sungai Serayu itu ada gemuruh yang tak henti. Sama halnya kehidupan kita. Ada yang tenang, ada yang gemuruh... Dan lagi-lagi.. menurutku hal itu indah.. Ah, kemudian aku juga tahu, ternyata di salah satu keloknya (di seberang sana) ada tempat yang sungguh indah bagi sepasang insan yang sedang memadu kasih. Hussyy....!)

Tampaknya temanku penasaran dengan cerita tentang keindahan Serayu yang pernah kusampaikan. Ia seorang diri siang itu datang ke sungai Serayu untuk mencari keindahan seperti yang pernah kuceritakan. Dan... ia menggugat ku, karena setelah ke sana tidak menemukan keindahan sedikitpun. Menurut temanku: “sungai Serayu biasa saja. Panas. Gak ada indahnya! Dasar wong sastra suka melebai-lebaikan!” Ujarnya setengah protes.

Aku tersenyum geli. Membayangkan ia naik mobil sendirian di siang yang panas, semata-mata ingin bertemu dengan sesuatu yang disebut indah.

Ah, kawan. Aku jadi ingat teori tentang keindahan (estetika). Seperti dikemukakan oleh Herbert Read bahwa dalam estetika dikenal adanya teori objektif dan teori subjektif. Teori Objektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetik adalah sifat (kualitas) yang memang telah melekat pada bentuk indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Sementara, Teori Subjektif menyatakan bahwa ciri – ciri yang menciptakan keindahan suatu benda itu tidak ada, yang ada hanya perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda.

Barangkali indah yang kurasakan saat berada di tepian sungai Serayu itu lebih mengacu pada teori subjektif. Maka, ketika kawanku itu mencoba membuktikan benar indah atau tidak tepian sungai Serayu itu, sesungguhnya juga bergantung dari subjek (temanku) yang merasakannya. Konsep indah menurut ukuranku barangkali juga berbeda dengan konsep indah menurut ukurannya.

Yea, keindahan yang subjektif. Bisa saja, suatu kali aku menganggap sebuah pengkhianatan cinta ternyata juga sebuah keindahan ketika orang lain mengatakan itu kejam dan menyakitkan. Mengapa? Karena sesungguhnya dari pengkhianatan tersebut kita menjadi belajar bahwa sungguh harga sebuah kesetiaan tidak dapat dinilai dengan rupiah, berapapun jumlahnya! Itulah keindahan yang kumaksud,  dari sebuah pengkhianatan.

Maka, ketika aku menulis tajuk “Keindahan pada Secangkir Kopi”. Ku percaya, ada yang tak sepakat. Padahal, sungguh secangkir kopi itu memang sungguh menawarkan keindahan yang sarat. Harumnya..., nikmatnya..., hangatnya..., rasanya... Lengkap!

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun