Baru sekali ini saya “dikerjain” mahasiswa. Jika biasanya saya membuat mahasiswa sibuk karena harus mengerjakan tugas yang saya berikan untuk mata kuliah tertentu. Maka kali ini yang terjadi sebaliknya. Saya yang dibuat sibuk oleh seorang mahasiswa. Mahroso Doloh namanya. Seharian ini saya berkutat di perpustakaan mini saya untuk membaca referensi dalam rangka membuat makalah untuk saya sampaikan pada acara bedah buku di Yala, Thailand Selatan pada 10 Februari mendatang. Berdasarkan informasi yang saya terima, saya disarankan untuk membuat makalah ringan dan pada saat mengkomunikasikannya di Yala besok tidak dengan tempo yang cepat. Sebab audiens di sana berbahasa Melayu.
Ternyata untuk membuat sebuah makalah ringan, tidaklah ringan. Saya sudah membaca sejumlah buku. Namun yang saya rasakan, saya masih merasakan adanya kegagapan estetik untuk mengkonkretisasi puisi-puisi yang ditulis oleh mahasiswa saya asal Patani, Thailand Selatan tersebut.
Dalam mengekspresikan gagasan tertulis melalui puisi-puisinya, Mahroso Doloh yang baru 5 semester belajar di Indonesia, tepatnya di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purwokerto, sering mengecoh saya. Ia menulis puisi pada buku kumpulan puisi berjudul Kiblat Cinta dengan dua gaya bahasa. Dengan gaya bahasa Indonesia dan bahasa Melayu yang diindonesia-indonesiakan. Akibatnya, saya sering terkecoh dengan beberapa kata yang ia gunakan. Seperti kata telubuk, saya cari-cari di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ada kata tersebut. Setelah saya tanyakan pada penyairnya ternyata yang dimaksud dengan telubuk (berasal dari bahasa Melayu) artinya adalah lubuk (lubuk hati).
Pada saat mengkonkretisasi (memaknai) puisi berjudul “Anak MaLaikat” saya mengalami kegagapan lagi. Pada bait awal ia menulis seperti ini: Dingin menyelimuti suluk ini/menjadi doa-doa tanpa kehabisan/ranting-ranting melihat akar, berceding penuh makna/daun tersenyum menjadi saksi di situ//
Saya kesulitan untuk mengartikan kata berceding pada puisi tersebut. Akhirnya saya SMS lagi pada sang penyair. Dalam beberapa menit SMS saya dibalasnya. Ia menerangkan bahwa berceding itu berasal dari bahasa Melayu yang artinya semacam “pohon yang baru-baru mau keluar dahan atau ranting-rantingnya”. Barulah saya mulai meraba-raba makna atas puisi tersebut.
Dan, apa yang pernah disampaikan A. Teeuw dalam bukunya Membaca dan Menilai Sastra memang benar adanya. Menurut Teeuw membaca dan menilai sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca roman, puisi, baik modern maupun klasik pasti pernah mengalami kesulitan. Merasa seakan-akan tidak memahami apa yang dikatakan ataupun dimaksudkan oleh pengarangnya. Untuk memahami sastra memerlukan pengetahuan tentang sistem kode yang cukup rumit, yakni kode bahasa, kode budaya dan kode sastra.
Saya pun membuka-buka kembali buku Teeuw yang dulu pernah saya baca untuk bisa lebih mengkonkretisasi puisi Kiblat Cinta. Sambil membuka juga Teori Sastranya Terry Eagleton, juga Bakat Alam dan Intelektualisme Subagyo Sastrowardoyo. Sambil melengkapi bacaan saya dengan skripsi Arief Budiman yang berjudul Chairil Anwar Sebuah Pertemuan.
Saya pun merasa tidak mudah untuk memahami makna yang terdapat pada buku kumpulan puisi Kiblat Cinta. Namun saya tetap harus menyelesaikan makalah, yang musti saya urai untuk acara bedah buku di Yala, pada Februari yang akan datang. Saya mulai menelusur makna puisi-puisi Mahroso. Satu demi satu saya mecermatinya. Puisinya berjudul "Kiblat Cinta" yang menurut tafsiran sementara saya menggambarkan akulirik memiliki kepribadian teguh untuk mengukuhkan cintanya, kepada lawan jenis, terlebih pada Zat yang Maha Segalanya.
Saat mencoba menafsir puisi “Matahari Senja”, saya mengalami kegagapan lagi, tatkala menemukan kata terikit pada salah satu lariknya. Pasti ini bahasa Melayu lagi, vonis saya sok tahu tapi masih ragu-ragu. Saya pun meng-SMS penyairnya lagi untuk mengetahui arti kata terikit pada larik: menyaksi cahaya matahari senja/ yang selama bersumpah di terikit dunia.//
Jawaban SMS mahasiswa saya yang tahun lalu mendapatkan hibah Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta itu membuat saya terkejut dan tepok jidat. Sang mahasiswa menerangkan bahwa terikit bukan bahasa Melayu tapi bahasa Indonesia yang artinya layar persegi. Penjelasan tentang kata tersebut ada di KBBI.
Saya pun sigap mencari KBBI saya yang sudah lamaaa sekali tidak saya buka. Benar, ternyata kata terikit ada di KBBI halaman 1182. Saya pun nyengir sendiri. Pasti mahasiswa saya yang berasal dari Thailand itu juga sedang nyengir karena tahu dosennya tidak mengenali bahasanya sendiri. Ah, tak apalah. Dosen kan juga manusia..
Saya makin menyuntuki Kiblat Cinta untuk dapat lebih mengakrabi karya sastra yang hendak saya ulas. Mencermati bahasa yang digunakan, saya melihat fenomena bahwa mahasiswa saya ini juga tidak semena-mena untuk bermain-main dengan bahasa kendati dalam penulisan puisi ada licentia poetica (lisensi puitika). Kode sastra tampaknya cukup ia jaga. Dan.. saat menelusuri puisi-puisinya yang lain, saya menemukan fenomena yang unik dari penyair Mahroso Doloh.
Saya pun bermaksud mengupas karyanya ini dari tiga sistem kode. Misalnya, pada puisi berjudul “Banyumas Seindah Negerimu” , menurut saya puisi tersebut musti dilihat dari kode budaya. Anak muda yang banyak mengenyam pendidikan di pondok saat di negerinya ini menulis bait-bait berkait dengan fenomena budaya dengan cukup menarik. Kita bisa cermati bait yang saya maksud:Ahmad Tohari/ Cukup indah namamu senantiasa terperi/ yang persis tajam otaknya tak terhenti/ Srintil yang menjadi bidadari dan menari/ teguh menggalas adab budaya tak pernah goyah dan bakti/ menjilat daun kudus di dadaku rantai memuji//
Makin malam, saya makin asyik menyuntuki puisi-puisi Mahroso. Saya pun berpendapat jika ikan bernapas dengan insang, burung bernapas dengan paru-paru, maka menurut saya penyair bernapas dengan puisi-puisinya. Setiap helaan napas penyair tentu merupakan hal yang sangat berarti bagi sang penyair. Demikian pula puisi-puisi yang diciptakan penyair Mahroso sebagai napas hidupnya. Jelas merupakan hal yang berarti. Termasuk puisi-puisi satir romantik yang ditulisnya pada Kiblat Cinta. Ini sebagian puisi satir romantik yang saya maksud, misalnya pada puisi berjudul: “Merah Putih Mengecewa” : Aku kecewa di kenyataan kebun SBY/Aku kira kebun ini dapat aku menumpang mandi/Tapi kebun ini ternyata hanya berisi rumput-rumput yang kering/Yang mengalami lapar dan dahaga//
Puisi satir romantik Juga terdapat pada puisi "Suara Patani": Matahari menyinari angkasa/Dengan cahaya membawa beribu cita-cita/Orang-orang berkumpuil di bawah cahaya Sang Kuasa/Dengan sebiji cinta, budaya bangsa/Agama tak terhingga//
Puisi satir romantik yang saya temukan pada Kiblat Cinta menggoda saya untuk menulis yang lain. Mendadak pikiran saya ingin mengkonkretisasi karya mahasiswa saya ini menjadi lebih merenik lagi. Bukan dalam bentuk makalah, tapi saya ingin membuat sebuah penelitian kecil yang hendak saya ajukan ke Lembaga Penelitian. Judulnya kira-kira begini: Rekuperasi atas Puisi-puisi Karya Mahroso Doloh dalam buku Kumpulan Puisi Kiblat Cinta melalui Kode Bahasa, Sastra dan Kode Budaya.
Aha. Kayaknya judulnya lumayan okey (setidaknya menurut saya). Akan saya jelmakan menjadi sebuah proposal penelitian. Mudah-mudahan malam ini bisa jadi.Tentu, karena niat awal saya membuat makalah kemudian menjadi berubah, jelas ini termasuk selingkuh. Tak apalah.. Malam ini saya ingin selingkuh… Ih, kalau dibuat cerpen kok bagus juga ya kayaknya?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H