Mohon tunggu...
Triaji Prio Pratomo
Triaji Prio Pratomo Mohon Tunggu... -

Learner of life

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilik Kepemimpinan Indonesia di Keriuhan Persimpangan

8 Desember 2015   13:20 Diperbarui: 8 Desember 2015   15:35 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
U Space vs Anti Space

Hati siapa yang tidak miris, melihat NKRI digadaikan atas nama tambang emas, ekonomi mulai menunjukan tanda morat-marit, wakil rakyat  beretorika saling menyalahkan dan sibuk membela diri, buruh punya hobi periodik, yaitu turun ke jalan menuntut upah lebih tinggi, pengusaha mengarahkan jarinya ke atas (pemerintah) dan ke bawah (buruh) tunjuk sana tunjuk sini, mahasiswa mulai turun lagi ke jalan walaupun masih sporadis dan belum searah sevisi, anak-anak muda yang tadinya tidak peduli/ tidak mau peduli mulai memenuhi media sosial dengan beragam opini, argumen, hujatan, sampai penistaan.

Sepertinya jalan di depan suram sekali melihat potret negeri ini yang penduduknya gemar berkelahi, beropini, berkolusi, dan berkorupsi. Setiap hari isi doa adalah meminta pertolongan Tuhan YME agar negara ini diselamatkan dari kehancuran, azab, dan kesengsaraan, dari negara yang dijajah ego penduduknya sendiri. Kalau boleh ada pil mujarab bernama ratu adil/ satria piningit/ imam mahdi yang dikabarkan menurut ramalan beberapa sekte agama/ kepercayaan mampu membalikkan keriuhan dan kegaduhan menjadi ketentraman, kegemahan, keripahan, dan kelohjinawian, yang katanya gemah ripah lohjinawi adalah tatanan asli bangsa ini.

Tuhan melalui utusan-Nya menjawab: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka” (Al Qur'an Surah Ar Ra'd 13:11)

Secara tersirat bila kita masih mempercayai Tuhan, dan/atau berketuhanan, lupakanlah ratu adil/ satria piningit/ imam mahdi. Karena kitalah yang bertanggunggung jawab atas nasib bangsa ini, kitalah yang menjadi ratu adil/ satria piningit/ imam mahdi di bidang kita masing-masing, di pekerjaan, di jabatan yang diamanatkan, dan di kehidupan sosial kemasyarakatan kenegaraan kita. Tak akan ada ratu adil, kita lah yang harus berlaku adil pada negeri ini, tidak ada satria piningit yang katanya titisan rajaresi yang telah cukup dengan dirinya, tak akan ada seorang imam mahdi yang lama dinanti-nanti yang akan membawa negeri ini kepada utopia.

Saatnya kita mulai membalikkan telunjuk yang tadinya mengarah ke luar, menjadi ke dalam. Ke dalam diri sendiri, sambil bertanya "Apa yang dapat saya sumbangsihkan untuk Ibu pertiwi yang sedang sakit ini?". Apakah kita hendak menjadi pendemo di jalanan yang berhati bersumbangsih atau berhati pamrih? Apakah kita hendak menjadi wakil rakyat/ perangkat negara yang berhati memberi atau berhati meminta? Apakah kita hendak menjadi pengusaha yang berniat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya ataukah bertujuan menyejahterakan orang-orang yang bekerja kepadanya?

Kasus SN vs SS hanyalah puncak gunung es (layar pewayangan) yang kemudian saat muncul ke permukaan menjadi riuh rendah dengan segala macam penilaian (judgment) semua pihak, seolah Indonesia menjadi ladang opini dan caci-maki, yang kemudian dipanen dengan sengat bahagia oleh media-media. Tapi perlu disadari, di balik layar pewayangan tadi ada musik gamelan (situasi) yang bermain, ada dalang (aktor) yang mengatur gerak wayangnya, ada pola perilaku politik yang selalu berulang dari waktu ke waktu (elitisme, mengeruk kekayaan negara untuk partai, dll), kemudian ada struktur dan sistem politik yang melembaga dalam trias politica seolah melegitimasi tindakan atas nama hukum/ negara/ rakyat, dan yang terakhir adalah model mentalitas politik itu sendiri, tidak sedikit orang politik yang bersih dan bermental memberi seperi Ahok, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Tri Rismarini, dan yang lainnya, namun segelintir orang itu masih belum sebanyak politisi bermental mencari fulus balik modal kampanye dan memperkaya diri/ golongan.

Dua pilihan memberi dan meminta itu besar sekali pengaruhnya terhadap jalan mana yang akan ditempuh dan ujung mana yang akan dituju oleh Indonesia, akankah Indonesia menempuh patologi sosial (individualisme, koncoisme, dan nepotisme) menuju peningkaran, antipati, ketidakpedulian kolektif, manipulasi, kesewenang-wenangan, hingga akhirnya penghancuran ekonomi.

Ataukah kita menempuh kebangkitan sosial (kolektivisme, ekosistem) menuju pertukaran pikiran, empati, kepasrahan (bukan ketidakberdayaan), kepedulian kolektif, dialog, tindakan konstruktif, hingga berujung pada penciptaan ekonomi? Yang kedua kedengarannya utopia? Coba tanyakan kepada Nelson Mandela tentang utopia Afrika Selatan, atau tanyakan Mahatma Gandhi tentang utopia India, semua berawal dari idealisme. Dalam hal ini bapak bangsa kita saat ini adalah diri kita masing-masing melakukan yang terbaik untuk Ibu Pertiwi, dengan mentalitas memberi.

Dua pilihan memberi dan meminta tadi juga akan mempengaruhi kualitas pembicaraan, kualitas tindakan, dan kualitas hasil. Telunjuk mengarah ke luar akan membawa bangsa ini kepada gerbang kehancuran. Mengapa? Pertama, menunjuk jari ke luar seperti kata-kata "JW lemah, PS menggunting dalam lipatan, SN tak beretika dan tak punya malu" akan membuka kotak pandora bernama kacamata kuda, kita lalu hanya melihat dari satu sudut pandang saja, sudut pandang yang tidak lengkap akan membawa pada pola 'saya benar anda salah' atau 'kita benar mereka salah', ujung-ujungnya 'kita vs mereka'.

Tidak berhenti di situ, mentalitas kita vs mereka bukanlah benar vs salah, karena manusia cenderung mengkotakkan segala sesuatu berdasarkan dualitas, senang-susah, suka-benci, baik-buruk, benar-salah, dan seterusnya. Perilaku mengkotakkan itu dilakukan ego, tergantung ego tersebut ingin diberi makan apa. Musuh kolektivisme bukanlah benar-salah, tapi adalah ego itu sendiri. Ego akan membawa tatanan kemasyarakatan (society) kita pada fundamentalisme/ fanatisme buta, contohnya kalau sudah KMP sudah hampir pasti bukan KIH, kalau JW bilang A, PS hampir pasti bilang B. Selalu mencari perbedaan, dan memang itulah pekerjaannya ego, menciptakan sektor dan silo (mungkin itulah sebab kenapa muncul istilah ego sektoral).

JALAN TENGAH

Apa yang harus kita mulai lakukan agar Indonesia tak terus terjerembab? Intervensi wacana di tataran layar wayang (puncak gunung es) hanya akan menambah riuh rendah situasi yang memang diciptakan dan dikondisikan demikian oleh pihak yang berkepentingan agar bumi republik ini selalu gonjang ganjing. Adu debat kusir di ranah publik hanya akan menambah kerasnya fundamentalisme dan fanatisme yang berujung pada penistaan (harrasment) dan penindasan (bullying) individu.

Intervensi di tataran pola perilaku dan struktur sistem politik pun rasanya tidak akan menyelesaikan masalah, wacana penghapusan legislatif dari trias politica sebagai pilar demokrasi yang kini jadi populer karena kemandulan MKD pun hanya akan membawa negeri ini ke demokrasi terpimpin alias diktatorisme, karena tidak ada mekanisme check-and-balance. Tak perlu lah jauh jauh menjadikan negeri ini seperti Tiongkok yang berpartai satu lalu dianggap berhasil, Vietnam yang berpartai satu pun tak lebih baik dari Indonesia dalam ukuran sosial politik dan ekonominya.

Bila pun jalan intervensi di struktur politik ini hendak ditempuh, maka intervensi ini perlu dimulai dari akar rumput (grass root) seperti jamannya Reformasi 1998, wacana di tataran tingkat tinggi hanya akan menghasilkan basa-basi (downloading). Kemurnian niat mahasiswa menggulingkan kediktatoran Soeharto berbuah walaupun dengan harga yang sangat mahal.

Pertanyaannya adalah, apakah kita harus menempuh jalur semi-revolusi seperti Reformasi tahun 1998 yang menyisakan luka teramat dalam bagi Ibu Pertiwi? Apakah ia merupakan harga mati dan satu-satunya cara, seolah tidak ada cara lain lagi yang dapat ditempuh?

Jalan tengah lain yang menyasar unsur akar rumput adalah pembangunan budi pekerti dan karakter bangsa melalui pendidikan dasar. Ya, pendidikan dasar, walaupun bukan jalan pintas, dan mungkin tak akan dapat dinikmati oleh generasi saat ini, namun inilah yang membuat Jepang seperti sekarang, yang membuat India seperti sekarang, yang membuat Tiongkok seperti sekarang, kepedulian negara untuk mengalokasikan dan mengawasi 20% APBN membangun infrastruktur dan suprastruktur pendidikan menjadi sangat krusial dalam momen saat ini.

Membuat rakyat menjadi pintar dan bermoral akan menggiring wakil rakyatnya mau tak mau harus lebih cerdas dan juga bermoral, karena ekosistem check-and-balance di tataran masyarakat madani telah mengakar. Contohnya Jepang, dengan masyarakat madani yang intelek, pemimpin yang melakukan kesalahan prosedural, apalagi moral tak memiliki amunisi membodohi rakyat, sebaliknya ia akan malu sendiri karena apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan standar intelektual, karakter, dan moral yang dituntut atas dirinya sebagai perwakilan dari konstituennya.

Sekarang kembali ke konteks mengganti arah tunjukan jari kita dari menunjuk ke luar, menjadi menunjuk ke dalam. Apa kontribusi yag dapat saya berikan dengan segala kemampuan dan kuasa yang saya miliki demi Ibu Pertiwi dalam proses pembentukan moral dan karakter bangsa?

JALAN BERSAMA

Tentu sebatang lidi yang sendirian tak akan mampu menyapu jalan penuh onak duri, yang diperlukan adalah sekumpulan lidi lurus yang berniat luhur untuk memperbaiki negeri. Dua kepala lebih baik dari satu kepala, kuncinya hanya satu, sebanyak apa pun kepalanya, hatinya harus satu. Niatan kolektif (Collective Intention) akan membawa pada tindakan kolektif (collective action) yang berujung pada perolehan kolektif (collective result).

Bagaimana caranya membentuk niatan kolektif? hanya satu saja jawabannya dialog. Apa itu dialog? dialog adalah proses komunikasi interpersonal/ organisasional/ nasional/ lateral dengan mengesampingkan ego sektoral, apa saja ego sektoral itu? yaitu judgment, cynicism, dan fear.

Bilamana dalam proses komunikasi itu kita berhasil mengatasi serangan ego judgment, misalnya "ah dia orang KMP, ah dia orang KIH, ah dia orang Golkar, ah dia orang PDIP, dll" maka dalam komunikasi interpersonal/ organisasional/ nasional/ lateral itu kita akan mampu melihat fakta dan data tanpa label-label lainnya. Murni hanya fakta dan data. Inilah yang disebut sebagai OPEN MIND (berpikiran terbuka)

Bilamana dalam proses komunikasi itu kita berhasil mengelakkan serangan ego cynicism seperti "si A ujung-ujungnya pasti duit, si B pasti di menusuk dari belakang, si C pasti akan menggagalkan ini, dll" maka dalam komunikasi interpersonal/ organisasional/ nasional/ lateral itu kita akan mampu merasakan apa yang orang lain katakan seolah-olah kitalah yang menjadi orang itu, kita mampu berempati, dan lawan komunikasi kita pun jadi merasakan empati yang sama (raos sami) sehingga kedua belah pihak menjadi saling terbuka hatinya (OPEN HEART)

Bilamana dalam proses komunikasi itu kita berhasil memasrahkan diri terhadap serangan ego fear, seperti "Kalau inisiatif ini dijalankan bisa terancam jabatanku, kalau hal ini terjadi bisa rugi kelompokku" maka dalam komunikasi interpersonal/ organisasional/ nasional/ lateral itulah kita berhasil mencapai taraf keterhubungan batin/jiwa (OPEN WILL) sehingga tanpa perlu dikata-katakan, tanpa perlu di basa-basikan, hanya kepercayaan akan satu tujuan yang akan timbul. Inilah reformasi spiritual melalui pendidikan dasar, dan kita semu terlibat di dalamnya, mulai dari diri sendiri, mulai dengan hal kecil (teman, keluarga, organisasi) dan mulai dari saat ini (lupakan kemarin dan besok, karena kemarin tak dapat kita ulangi, dan besok belum terjadi).

Tak ada jalan pintas dan bertabur bunga menuju Nusantara Jaya, jalan itu penuh onak duri yang selalu menghadang kita, hanya dengan niat bersih membangun kaum dan negeri, Tuhan akan menjawab doa kita karena kita telah berupaya dari hati terdalam kita, semua ini bukan untuk diri sendiri, tapi untuk anak cucu kita nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun