Mohon tunggu...
Tri Sapta Mw
Tri Sapta Mw Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis untuk menambah pengetahuan. Amunisi menulis adalah membaca.

Bekerja di Sekolah Tetum Bunaya Cipedak Jagakarsa Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FFA] Aku, Peternak Ayam

20 Oktober 2013   23:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:15 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Hayoo. Melamun.” Suara Abah mengagetkan.

“Ih, Abah. Reflek aku tinju beliau. Karena aku ikut eskul silat Sering beliau jadi lawan tadingku. Walau aku perempuan aku dididik sama dengan adik laki-lakiku. Curangnya mereka tidak diajari memasak. Aku juga harus bisa mengerjakan pekerjaan perempuan.

Beliau menangkis. Kini tendangan T ku arahkan pada beliau.
“Cukup,” suara wibawa beliau menghentikan seranganku.
“Bagaimana, hari ini ayam ada yang mati lagi?” Ada nada khawatir pada suara itu.
“Iya, Bah.” Terasa sedih pada jawabanku. Semenjak Abah, menjadi anggota DPRD, ayam tidak terawat dengan baik. Aku membantu abah semampuku. Tak bisa menyuntik ayam. Beberapa hari ini ada beberapa ayam mati. Sekarang musim hujan. Ayam perlu dihangatkan. Sayang listrik hanya ada di malam hari. Mereka juga perlu diperlakukan khusus dengan pemberian vitamin, pikirku, si bocah anak SD.
“Ayo sekarang kita pilih ayam yang pilek,” ajak Abah.
Dengan sigap aku mulai mencari ayam yang meler. Menangkap kakinya. Hup. Ayam yang tak terlalu besar ini kepalanya sudah di bawah. Abah sudah menyiapkan suntikan. Dalam injeksi tersebut sudah terisi cairan. Entah apa isinya. Barangkali obat pilek. Aku berpikir sok tahu.
“Pegang kuat-kuat!”
“Jangan khawatir Bah. Walau aku baru masuk silat kan sudah sering berlatih memukul pohon pisang. Lihat nih kepalan tanganku.”

“Iya, Abah percaya.”
Ayam petok-petok kesakitan. Seperti anak-anak imunisasi saja. Menangis. Aku terbiasa mendengar suara ibuku menyuntik anak kecil. Karena di rumah juga membuka praktek.
Beberapa ekor ayam sudah di suntik. Mereka dipisahkan pada kandang khusus. Aku elus mereka.
“Sehat ya ayam.” Aku teringat nenek berkata pada aku dan adik-adik. Makan itu harus dihabiskan nanti ayamnya mati.
Kami menjawab sekenanya,” Enak Nini (Bahasa Banjar: Nenek) makan ayam tiap hari. Kini aku sedih. Karena walau makan ayam tiap hari, Abah tidak bisa menjual ayam yang sakit. Tentunya tidak jadi punya uang.
Begitulah akhirnya ayam peliharaanku dan Abah lama kelamaan habis. Abah semakin sibuk dengan pekerjaannya. Walau begitu aku banyak mendapat pelajaran yang banyak dari tanggung jawab yang diberikan Abah. Waktu yang tak pernah berputar. Manfaatkan masa kecil dengan banyak belajar dari pengalaman sehari-hari. Kelak dewasa nanti akan banyak hikmah yang dipetik.

Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: Inilah Hasil Karya Festival Fiksi Anak!
Silakan bergabung di group FB Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun