Hal itu urgent dilakukan sebagai upaya pengimplementasian prinsip-prinsip demokrasi subtansial yang sekaligus pendisiplinan dan menuntun pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah beserta tim pemenangannya agar lebih mengedepankan program (visi dan misi) dalam merebut hati pemilih.
Sedangkan untuk pemilih diharapkan menjadi pembelajaran politik agar lebih kritis memelototi visi dan misi pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta tidak hanya berpatokan pada limpahan materi dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kelapa daerah dalam menjatuhkan pilihannya.
Bawaslu Tidak Memaksimalkan Kewenangannya    Â
Pasca diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, kedudukan Badan Pengawas Pemilihan Umum beserta jajarannya (Bawaslu) menjadi semakin kuat dengan dilekatkannya kewenangan mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terbukti melakukan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan massif, sabagaimana ditentukan dalam Pasal 135A ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016.
Dengan kewenangan yang sebegitu kuat, seharusnya Bawaslu mampu mengintensifkan kewenangannya dan mendorong perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Akan tetapi, Bawaslu malah tidak mampu mengintensifkan kewenangannya.
Salah satu persoalannya bertitik tolak pada esksistensi Peraturan Bawaslu No. 13 Tahun 2016, yang mereduksi kewenangan Bawaslu sendiri.
Misalnya ketentuan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Bawaslu No. 13 Tahun 2016, yang mengatur tenggang waktu pengajuan laporan dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif terhitung sejak ditetapkannya pasangan calon sampai dengan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.
Batas waktu 60 hari tersebut tidak berlandaskan rasionalitas yang komprehensif dan cenderung diformulasikan hanya untuk memberikan legitimasi dilakukannya pelanggaran pemilihan, karena secara faktual serta berdasarkan pengalaman/pembelajaran dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di masa yang lalu, sangat tidak mungkin pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah beserta tim pemenangannya akan memaksimalnya seluruh resources yang dimilikinya dengan melakukan tindakan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif pada saat rentang waktu pemungutan suara masih telalu jauh.
Dengan pengaturan tenggang waktu demikian, maka dapat dipastikan mustahil terdapat pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dijerat sanksi diskualifikasi kesepertaan, meskipun secara faktual pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut melakukan pelanggaran  terstruktur, sistematis, dan massif dalam memenangi konstestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Ke depan, Bawaslu beserta jajarannya tidak boleh lagi mengkerdilkan kelembagaannya sendiri dengan memformulasikan hukum acara yang sulit diakses oleh para pencari keadilan pemilihan (justiciabelen), karena dipundak kelembagaan Bawaslu beserta jajarannya dibebankan harapan seluruh rakyat Indonesia atas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu memunculkan kepemimpinan daerah atau kepemimpinan nasional yang berintegritas, berkompetensi, dan mengsejaterahkan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H