Emisi Metana dari Industri Peternakan: Dampak terhadap Keberlanjutan Lingkungan
Permintaan pangan yang besar menuntut pekerjaan hewan ruminansia, karena dalam proses pencernaannya menghasilkan metana sebagai produk sampingan ketika mikroba dalam sistem pencernaannya memecah makanan. Lonjakan ekstrem kebutuhan pangan muncul sebagai dampak langsung dari perkembangan populasi manusia yang pesat. Oleh karena itu, hewan pemamah biak, ditandai oleh sistem pencernaan khusus yang melibatkan serangkaian proses fermentasi dalam lambung, menjadi fokus perhatian. Pelepasan metana hasil pencernaannya dilepaskan ke atmosfer dalam proses eruktasi. Sementara itu, monopoli metana oleh industri peternakan dalam sektor gas rumah kaca dari rantai pangan memunculkan ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan.
Lonjakan kebutuhan pangan yang ekstrem muncul sebagai dampak langsung dari perkembangan populasi manusia yang pesat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi pangan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perkembangan populasi manusia secara langsung akan meningkatkan persaingan antara penyediaan kebutuhan lahan untuk produksi pangan dan untuk kebutuhan lainnya. Penyebabnya yaitu separuh dari lahan yang dapat dihuni di dunia digunakan untuk pertanian. Sektor pangan bertanggung jawab atas seperempat emisi gas rumah kaca secara global. Produksi pangan menyumbang lebih dari seperempat (26%) emisi gas rumah kaca global. Keadaan tersebut memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan iklim, terutama melalui peningkatan emisi metana yang dapat memperburuk masalah perubahan iklim secara global. Nitrous oksida (gas rumah kaca yang kuat) dihasilkan ketika pupuk nitrogen sintetis diaplikasikan ke tanah untuk semua produk pertanian (termasuk makanan yang langsung dikonsumsi manusia dan pakan ternak). Nitrous oksida memiliki potensi pemanasan global lebih besar daripada karbon dioksida.
Hewan pemamah biak memiliki sistem pencernaan khusus yang melibatkan serangkaian proses fermentasi dalam lambung. Fermentasi ini menghasilkan gas metana, yang merupakan salah satu gas rumah kaca paling kuat. Berbagai faktor memengaruhi emisi metana dari ternak, termasuk tingkat konsumsi pakan, jenis karbohidrat dalam pakan, penambahan lipid atau ionofor ke dalam pakan, dan perubahan mikroflora rumen. Emisi yang dihasilkan dari penggunaan lahan peternakan dua kali lebih tinggi dibandingkan lahan untuk tanaman konsumsi manusia. Penggunaan lahan peternakan menghasilkan emisi sebesar 16,0 miliar ton karbon dioksida setara per tahun, sedangkan penggunaan lahan untuk tanaman konsumsi manusia menghasilkan emisi sebesar 8,0 miliar ton karbon dioksida setara per tahun (Our World in Data, 2019). Hewan ruminansia umumnya mengonsumsi pakan yang kaya serat. Sementara itu, pakan yang kaya akan serat kasar lebih sulit dicerna, sehingga  proses fermentasinya memakan waktu lebih lama dan menghasilkan lebih banyak gas metana.
Pelepasan metana yang dihasilkan dari proses pencernaan dan dilepaskan ke atmosfer melalui eruktasi Hewan ruminansia menghasilkan gas metana melalui proses fermentasi anaerobik (proses penguraian bahan organik tanpa adanya oksigen) di rumen. Hewan ruminansia menghasilkan gas metana melalui proses tersebut dan gas tersebut kemudian dilepaskan melalui sendawa, mencakup metana, karbon dioksida, hidrogen, dan nitrogen. Emisi metana dari sendawa hewan ternak menjadi penyumbang utama terhadap emisi metana global. Metana memiliki daya pemanasan global yang lebih tinggi dibandingkan karbon dioksida, meskipun memiliki periode hidup yang lebih singkat. Keterkaitan antara sensitivitas tinggi terhadap metana dalam produk-produk hewani, seperti produksi susu, menyoroti urgensi pengelolaan emisi metana dalam upaya mitigasi dampak lingkungan dari sektor peternakan. Oleh karena itu, pengelolaan emisi metana dari sektor peternakan menjadi sebuah aspek penting yang perlu diperhatikan.
Monopoli metana oleh industri peternakan dalam sektor gas rumah kaca dari rantai pangan memunculkan ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan. Pertumbuhan populasi manusia dan permintaan daging menjadi pemicu utama peningkatan emisi metana dari industri peternakan. Seiring dengan pertumbuhan tersebut, emisi metana dari industri peternakan dipastikan akan meningkat. Industri peternakan, sebagai salah satu faktor utama deforestasi, juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Deforestasi yang disebabkan oleh industri peternakan dapat mengakibatkan hilangnya habitat hewan liar, perubahan iklim, dan polusi udara. Dampak pencemaran lingkungan akibat emisi gas metana tidak hanya merugikan bagi lingkungan, tetapi juga memiliki konsekuensi buruk bagi kesehatan. Gas metana, ketika bereaksi dengan oksigen di udara, dapat menghasilkan ozon yang dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru manusia.
Peningkatan konsumsi pangan menjadi penyebab meningktanya permintaan akan produk hewan ruminansia, yang menghasilkan metana sebagai produk sampingan dari metabolisme mikroba dalam saluran pencernaannya. Emisi metana dari industri peternakan merupakan ancaman bagi keberlanjutan lingkungan, karena metana memiliki efek pemanasan yang lebih kuat daripada karbon dioksida. Upaya keberlanjutan dalam industri peternakan menjadi imperatif untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pangan dan dampak lingkungan.
Referensi
Ritchie, H. (2020, March 10). The carbon footprint of foods: Are differences explained by the impacts of methane? Our World in Data.
Ritchie, H., Rosado, P., & Roser, M. (2018). Environmental impacts of food production. Our World in Data.
Ritchie, H. (2020, September 28). Sector by sector: Where do global greenhouse gas emissions come from? Our World in Data.
Ritchie, H. (2019, November 6). Food production is responsible for one-quarter of the world's greenhouse gas emissions. Our World in Data.
Khairati, R., & Syahni, R. (2016, December 10). Respons Permintaan Pangan terhadap Pertambahan Penduduk di Sumatera Barat [Response of Food Demand to Population Increase in West Sumatera]. Universitas Andalas Padang.
Dangal, S. R. S., Tian, H., Xu, R., Chang, J., Canadell, J. G., Ciais, P., Pan, S., Yang, J., & Zhang, B. (2019). Global Nitrous Oxide Emissions From Pasturelands and Rangelands: Magnitude, Spatiotemporal Patterns, and Attribution. Global Biogeochemical Cycles, 33(2).
Johnson, K. A., & Johnson, D. E. (1995). Methane emissions from cattle. Journal of Animal Science, 73(8), 2483–2492. https://doi.org/10.2527/1995.7382483xÂ
Nur, K., Atabany, A., Muladno, & Jayanegara, A. (2015). Produksi Gas Metan Ruminansia Sapi Perah dengan Pakan Berbeda serta Pengaruhnya terhadap Produksi dan Kualitas Susu [Methane Production of Dairy Cow Ruminants with Different Feed and Effect on The Production and Quality of Milk]. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 03(2), 65-71. ISSN 2303- 2227.
Akhadiarto, S., & Rofiq, M. N. (Year of Publication). Estimasi Emisi Gas Metana dari Fermentasi Enterik Ternak Ruminansia Menggunakan Metode Tier-1 di Indonesia [Estimate of Methane Emissions from Enteric Fermentation by Ruminant Animals Using Tier-1 Methods in Indonesia]. Jurnal/Pusat Teknologi Produk Pertanian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Wihardjaka, A. (2015). Mitigasi Emisi Gas Metana Melalui Pengelolaan Lahan Sawah [Mitigation of Methane Through Lowland Management]. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian.
Gerber, P. J., Steinfeld, H., Henderson, B., Mottet, A., Opio, C., Dijkman, J., Falcucci, A., & Tempio, G. (2013). Tackling Climate Change Through Livestock – A Global Assessment of Emissions and Mitigations Opportunities. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Rome.
National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine. (2016). Assessing Progress on the Institute of Medicine Report The Future of Nursing. Washington, DC: The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/21838Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H