Mohon tunggu...
Titania Sophia Qelmi
Titania Sophia Qelmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa pre-kilinik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerataan Transportasi Umum di Indonesia untuk Mengurangi Polusi Serta Kemacetan, Apakah Pilihan yang Tepat?

22 Juni 2024   15:05 Diperbarui: 22 Juni 2024   15:09 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga kini, transportasi umum yang dapat berfungsi dengan efektif dan efisien masih menjadi dambaan warga Indonesia. Langit-langit kota besar menjadi semakin abu disebabkan oleh ribuan kendaraan pribadi yang memadati jalanan dengan asap yang mengepul merupakan salah satu tanda bahwa kondisi kemacetan dan polusi udara di Indonesia ada pada tahap yang kronis. Kereta api sebagai salah satu transportasi umum berbasis rel yang juga disebut sebagai transportasi berkelanjutan pun muncul sebagai salah satu alternatif untuk membenahi kondisi kronis tersebut. Berbagai upaya pemerataan aksesibilitas kereta api ini pun banyak digalakkan oleh pemerintah. Namun, apakah pilihan tersebut merupakan langkah yang tepat? 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi udara kota-kota besar di Indonesia tidak memiliki nilai indeks kualitas udara yang baik. Bahkan, akhir-akhir ini banyak diberitakan bahwa nilai indeks kualitas udara Jakarta menyentuh angka 82. Melihat hal ini, pemerintah pun mulai menggemparkan kembali kampanye penggunaan kereta api sebagai moda transportasi utama untuk mobilitas penduduk karena kereta api dianggap sebagai transportasi ramah lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan masyarakat. Meskipun kampanye ini  masih belum dinyatakan sukses sepenuhnya karena indeks kualitas udara ibukota justru memburuk, kampanye ini malah membawa dampak baik di aspek lain, yaitu kemacetan. 

Dari jurnal berjudul Analisis Peran Smart Mobility di Jakarta dalam Mewujudkan Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan yang ditulis oleh Nadia Qurrotulayni, Daniel Carlos Purba, dan Dwi Desi Yayi menyatakan bahwa kemacetan Jakarta kian membaik sejak tahun 2017. Smart Mobility yang mencakup MRT, LRT, KRL, dan BRT dianggap berhasil karena sukses menurunkan tingkat kemacetan Jakarta dari 61% pada 2017 ke 34% pada 2021. Sebenarnya hal ini merupakan hal yang baik, tetapi dengan warga umum turut menggunakan Smart Mobility akan dapat merugikan pekerja transportasi umum lainnya karena pelanggan mereka secara otomatis akan berkurang. Pelanggan yang berkurang juga akan menyebabkan kerugian beruntun pada berkurangnya pendapatan mereka, dimana berkurangnya pendapatan akan berdampak pada penurunan kesejahteraan sosial.

Dibalik kesenangan warga ibukota dan kota-kota besar atas keberhasilan kampanye tersebut, ada warga kota pinggiran yang tidak dapat merasakan nikmatnya keberhasilan tersebut. Akses untuk transportasi umum berbasis rel di daerah pinggiran, terutama di luar Pulau Jawa, masih sangat terbatas. Tidak hanya itu, akses yang terbatas justru diperburuk dengan harga tiket yang tidak kalah mahal. Padahal, moda transportasi umum seperti kereta api sangat dibutuhkan oleh warga sana untuk mobilitas ke tempat yang jauh, seperti mobilitas antarkota. 

Oleh karena itu, masih banyak warga pulau luar Jawa yang mengandalkan transportasi pribadi, seperti mobil dan motor. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan bertambahnya emisi karbon yang berujung pada pencemaran udara (polusi). Sekalipun angka kendaraan bermotor di luar Pulau Jawa masih tergolong sedikit, pertumbuhan angka ini tidak dapat dibiarkan supaya tidak mengakibatkan kemacetan yang parah seperti yang ada di DKI Jakarta. Dikarenakan akses untuk transportasi umum berbasis rel masih tidak umum, pekerjaan warga sekitar pun masih sangat beragam sehingga masih banyak pula penyedia jasa transportasi umum seperti tukang ojek. Dengan demikian, lapangan kerja untuk masyarakat disana masih sangat terbuka lebar. 

Dari sudut pandang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerataan transportasi umum berbasis rel di Indonesia dapat menyebabkan pro dan kontra. Tentunya, tidak ada yang salah dengan pemerataan karena sejatinya tujuan utama dari pemerataan adalah untuk keadilan bersama. Selain itu, pemerataan transportasi umum berbasis rel juga dapat mengurangi kemacetan dan polusi udara. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pemerataan juga harus diimbangi oleh pertimbangan dari aspek lain, seperti aspek sosial dan ekonomi. 


References

Pramyastiwi, Deasy E. "Perkembangan Kualitas Pelayanan Perkeretaapian Sebagai Angkutan Publik Dalam Rangka Mewujudkan Transportasi Berkelanjutan (Studi Pada PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 8 Surabaya)." Jurnal Administrasi Publik Mahasiswa Universitas Brawijaya, vol. 1, no. 3, 2013, pp. 61-69.

Razak, M.R. and Ahmad, J. (2020) 'Menelusuri Dan Membandingkan transportasi publik  berbasis rel antara kuala Lumpur Dengan Jakarta', MALLOMO: Journal of Community Service, 1(1), pp. 1--14. doi:10.55678/mallomo.v1i1.191. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun