Fenomena religius bagi masyarakat Bali apabila mereka memberikan sesajen atau sering disebut "Banten atau Bebantenan" kepada Ida Sang Hyang Widhi  Banten atau Sesajen Hindu sangat sering dijumpai di Bali. Sesajen adalah salah satu upacara dalam berkomunikasi dengan leluhur hingga Tuhan. Banten diperkenalkan oleh seorang Rsi atau Rsi Maharsi Markandeya di sekitar abad ke-8 kepada penduduk di sekitar pertapaannya yaitu Desa Puakan-Taro yang kini dikenal dengan Tegallalang Gianyar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sajen merupakan makanan (bunga-bunga dan sebagainya) yang disajikan kepada orang atau makhluk halus dan sebagainya, selain istilah di atas sesajen di masyarakat Bali dikenal dengan istilah Banten yang digunakan sebagai persembahan dalam upacara agama Hindu.
Tempat-tempat untuk memberikan banten, seperti pura Banjar atau di Jero gede didepan rumah. Menurut pemahaman masyarakat Bali-Hindu, memberikan persembahan merupakan sebuah kewajiban yang tidak dapat ditolak, karena penolakan terhadap pemberian persembahan akan membawa kepada ketidaksetiaan Hyang Maha Suci dan dapat mendatangkan petaka. Oleh sebab itu, setiap kali kita datang ke Pulau Bali, pasti akan terlihat tempat-tempat pemujaan yang selalu terisi dengan bebanten, seperti pura yang ada di setiap banjar atau jero gede, tempat sembahyang yang dimiliki oleh setiap keluarga Bali. Ketika kita berkendara, akan terlihat warga yang lalu lalang berpakaian adat dengan membawa sesajen baik yang akan pergi maupun pulang dari pura. Begitu juga ketika hari-hari raya tertentu, misalnya galungan atau kuningan, banyak motor, mobil ataupun rumah-rumah penduduk dihiasi dengan janur kuning.
Pada mulanya Banten dikembangkan kepada umat Hindu yang tidak menguasai mantra-mantra dalam kegiatan baktinya dan sebatas pengikut dari Rsi Markandeya dan berkembang kepada masyarakat sekitar. Kedatangan kedua kalinya Rsi Markandeya bersama pengikutnya ke Bali ini dengan melakukan pengruwatan berdasarkan wahyu yang ia dapatkan dari Tuhan ketika bersemedi di Gunung Raung. Ketika memasuki Bali Rsi Markandeya ini kemudian melakukan beberapa hal. Yaitu melaksanakan ritual upacara mendem pedagingan Panca Datu sesuai petunjuk menggunakan sarana sesajen di Pura Besakih. Selain itu setiap memasuki daerah baru atau tempat baru dilaksanakan ritual upacara pembersihan tanah yang akan ditempati.
Banten ini merupakan perwujudan rasa syukur dan ikhlas mesyarakat atas apa yang diberikan Tuhan melalui alam. Masyarakat Bali yang dulunya sangat agraris segala isi banten diambil dari kebun atau sawah sendiri dan rangkaiannya sendiri. Banten memiliki jenis, bentuk, dan bahan yang bermacam-macam. Keunikan dan kerumitan Banten memiliki makna simbolik dengan perpaduan estetika. Dimana unsur estetika ini sangat penting dalam Banten karena dapat menentukan pikiran dengan penuh rasa kebahagiaan pada saat memuja Tuhan.
Semua ini memiliki makna tersendiri, bagi orang-orang religius, Pulau Bali merupakan tempat bersemayam nya para dewata. Tempat yang penuh dengan nuansa religi. Semua aktivitas penduduk tidak bisa dilepaskan dari ucapan syukur kepada sang Hyang Widhi Wasa atas perlindungan yang diberikan dalam kehidupan mereka. Persembahan itu dalam bentuk sembahyang yang dilaksanakan ditempat-tempat tertentu, artinya bahwa manusia hidup tidak bisa lepas dari sembahyang. Hingga kini ritual ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Hindu Bali terutama dalam penggunaan Banten sebagai sarana upakara.
Dalam lontar 'Yadnya Prakerti' dan lontar 'Kusuma Dewa', Banten dengan isi yang beragam itu terdiri dari unsur alam seperti:
1. Mataya, yaitu bahan banten yang berasal dari sesuatu yang tumbuh atau tumbuh-tumbuhan seperti, daun, bunga, buah, dan lainnya
2. Maharya, merupakan bahan yang berasal dari sesuatu yang lahir direpresentasikan oleh binatang tertentu seperti kambing, sapi, dan lain sebagainya.
3. Mantiga, bahan banten yang berasal dari telur seperti telur ayam, itik dan lainnya.
4. Logam seperti perak, tembaga, besi, emas, timah, dan lain-lain.
5. Air atau cairan, terdapat lima cairan yang digunakan untuk banten yaitu air yang berasal dari jasad atau sarira diwakili empehan atau susu, air yang berasal dari buah-buahan diwakili berem, air yang berasal dari uap atau kukus diwakili arak, air yang ebrasal dari sari bunga diwakili oleh madu, dan air air yang berasal dari tanah atau bumi diwakili air hening atau jernih, yang kelima zat cair tersebut disebut dengan Panca Amerta
6. Api dalam wujud dupa dan dipa
7. Angin dalam wujud asap yang harum
Bahan-bahan tersebutlah yang menjadi unsur pokok banten dan dipersembahkan kembali kepada sang Pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H