Sampai pos tiga, kami istirahat makan siang. Sekitar sepuluh porter kami libatkan untuk memandu, memasak dan mengangkut perbekalan kami. Sambil menanti bahan mentah siap disantap, kami duduk memandangi banyak pendaki lalu-lalang. Banyak juga yang naik dan tak kalah banyak pula yang turun. Saya memperhatikan lalu-lalang itu dan menemukan beberapa warna kulit dari berbagai ras. Demi memenuhi rasa penasaran, saya bertanya asal negara mereka. Tiga kali bertanya ternyata jawabannya juga tiga macam negara yang berbeda. Teman anggota hash yang lain juga penasaran dari mana saja asal negara pendaki-pendaki itu. Selesai makan siang, kami melanjutkan pendakian. Sepanjang jalan kami selalu diberi semangat oleh pendaki yang sedang turun. Wajah-wajah Melayu akan mengatakan ,
“Ayo semangat… semangat..”
Wajah-wajah kulit putih juga tak kalah gencar mengatakan sambil mengepal tangan,
“Come on… you can do it.., you can do it.”
Saya mulai grogi. Seberat apakah gerangan meraih summit attack? Kami balas dengan ucapan terimakasih setiap semangat yang mereka berikan, sambil kami terus bertanya asal negara mereka. Hingga mencapai perkemahan di Pelawangan Sembalun kami telah mengumpulkan setidaknya sepuluh macam kewarganegaraan yang tersebar dari empat benua. Hanya pendaki dari benua Afrika yang kebetulan tidak saya temui saat itu. Lima bulan sebelumnya ketika naik Tambora, kami hanya bertemu pendaki dari negri sendiri. Namun Pulau Lombok yang telah memiliki bandara internasional rupanya turut berpengaruh pada kehadiran pendaki dari berbagai negara. Jumlah mereka pun sangat banyak. Bulan Oktober sepertinya menjadi salah satu puncak musim pendakian. Perkemahan di Pelawangan Sembalun menjadi sangat padat (lihat foto di bawah).