Begitu teduh nya, terlihat hijau, subur dan bikin betah berlama-lama untuk menikmati hamparan persawahan yang terlihat tertata elok berpetak-petak seperti membentuk desain arsitektur dengan pola-pola nya tersendiri.
Terlebih rumah-rumah bambu dengan beratap jerami yang sengaja dibangun diarea persawahan, bisa dimanfaatkan untuk melepas lelah yang sekaligus sebagai pos pemantau persawahan mereka dari berbagai gangguan burung-burung yang sesekali terbang hinggap dirimbunnya batang-batang padi yang terhampar luas.
Hamparan-hamparan seperti itulah yang selalu aku rindukan dan aku inginkan, bukan hamparan dengan beralas beton dengan cor besi bertulang tinggi menjulang yang sedikit banyak tidak hanya sebatas menggerus keindahan serta keasrian dan kesuburan, membuat tanah kita menjadi sesuatu yang tidak hijau lagi, tapi menjadi hamparan yang panas dan berdebu.
Regenerasi Butuh Panutan Ketokohan
Mendapati persawahan luas menghijau ditengah hingar bingar dan gahar nya kota Surabaya yang bergerak maju pesat serta metropolis memang tergolong langka. Surabaya hanya menyisakan sepetak dua petak lahan persawahan dititik-titik tertentu.
Semisal dikawasan Jambangan, Pagesangan dan juga Ketintang di Surabaya Selatan, serta seputar Lakarsantri dan Benowo untuk Surabaya Barat, juga beberapa hamparan kecil diseputar Gunung Anyar di Surabaya Timur.
Rasa nya cuman terbatas didaerah tersebut saya masih bisa menemukan hamparan hijau persawahan yang  bikin suasana adem ditengah himpitan lahan-lahan yang sudah beralih fungsi. Teraspal dan tersemen dengan campuran adukan semen besi bertulang, bukan adukan tanah dan pupuk penyubur yang bisa menghamparkan padi hijau mengembang tertiup sepoi nya angin.
Kota Surabaya yang padat serta penuh sesak dengan pusat perniagaan barang serta jasa dengan kepemimpinan Walikota yang sekarang memang sanggup menyulap dan menghijaukan dibanyak titik menjadi taman-taman kota yang asri dengan tidak kurang dari 70 taman kota yang baru-baru ini telah diresmikan secara simbolis oleh Ibu Tri Risma Harini selaku Walikota Surabaya.
Apresiasi setinggi-tinggi nya untuk kota Surabaya lewat ibu walikota yang bisa "menyulap" kota Surabaya menjadi hijau serta meraih berbagai penghargaan dilevel internasional dan menjadi percontohan bagi kota yang lain di Indonesia.
Jika menyulap lahan tidur untuk dijadkan taman sangat piawai, berikut nya bolehlah sektor pertanian juga bisa terus di push dan didorong agar bisa memiliki nasib yang sama sekalipun dengan penuh keterbatasan dan keniscayaan.
Sekalipun dengan menghijaukan lahan untuk "disulap" menjadi area persawahan, tentu nya hal itu tidak semudah seperti membangun sebuah taman-taman kota yang bisa dan cukup hanya memanfaatkan lahan-lahan tidur semata.
Mengolah persawahan butuh orang terampil, telaten dan sabar. Karena area persawahan butuh penanganan serta pengolahan lebih, harus dirawat, diairi dan dijaga secara kontinyu, baik dari serangan hama dan burung-burung liar, yang kesemua nya itu hanya bisa didapatkan dari jiwa-jiwa seorang petani seutuhnya.
jiwa-jiwa seorang petani sudah tergerus habis dan sangat tidak populer dikota metropolis level Surabaya. Masyarakat Surabaya lebih cenderung memillih melakoni bidang bisnis ataupun menjadi seorang profesional muda, kalau tidak begitu mereka lebih memilih untuk berwiraswasta.
Namun begitu, setidak nya lahan-lahan persawahan yang tersisa tidak malah terkikis namun bisa dipertahankan dengan seoptimal mungkin dan tidak menutup kemungkinan malah bertambah.
Bolehlah ini sekaligus sebagai surat terbuka buat Ibu Walikota Surabaya, Tri Risma Harini, agar bisa mengekspos secara besar-besaran, bahwasan nya menjadi seorang petani itu bukan pekerjaan rendah namun pekerjaan yang mulia.
Indonesia Memang dan Masih Sebagai Negara Agraris
"Jika meneruskan perjalanan" 5 Km dari titik tempat saya tinggal di kota Surabaya lanjut menyebrangi Jembatan Suramadu yang iconic kebanggaan nasional, penyambung kota Surabaya dengan Pulau Madura , 1 Km dari titik akhir ujung Jembatan Suramadu kita sudah bisa mendapati hamparan sawah nan hijau sehijau hijau nya. Tidak kurang-kurang nya bisa kita jumpai hamparan sawah baik dari sisi kiri maupun kanan sejauh mata memandang.
Mungkin saya juga tidak perlu jauh-jauh mengeksplore desa kelahiran orang tua di Menganti, Kebumen, Jawa Tengah hanya sebatas untuk tahu dan mengeksplore hijau nya persawahan dan sekaligus sebagai penanda, kalau Indonesia memang dan masih sebagai negara agraris.
Saya cukup mengunjungi relasi kerja yang ada di Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan, Madura yang berjarak tidak kurang dari 85 Km dari lokasi tempat tinggal saya di Surabaya. Beruntung dan selalu beruntung bisa senantiasa menikmati sekaligus mengamati hijau nya area persawahan yang membuat mata menjadi lebih sehat sepanjang perjalanan kesana.
Tidak sebatas menikmati, namun sering kali mengamati para pekerja-pekerja yang berada dan mengolah persawahan sepanjang mata memandang memang hampir bisa dipastikan hanya para orang tua bahkan lanjut usia, kenapa?.
Jawaban nya simple, karena mereka-mereka yang berada diusia produktif kebanyakan enggan untuk berprofesi sebagai petani meneruskan pekerjaan orang tua ataupun sebatas membantu orang tua.
Mereka lebih banyak "berhijrah" ke Surabaya terlebih, dan memilih menjadi buruh maupun pegawai disektor-sektor perdagangan maupun jasa dan sektor lain, karena tetangga saya setidak nya separoh juga berasal dari Madura.
***
Petani adalah pekerjaan yang mulia, bukan pekerjaan rendahan dan miskin, so jangan mundur untuk menjadi petani, Allah akan meninggikan derajat para petani.
Benarlah petani itu seorang pahlawan, tidak cuman guru saja yang mendapat titel pahlawan tanpa tanda jasa, namun petani juga harus mendapatkan titel yang serupa, karena petani adalah pahlawan pangan dan pemerintah harus menterjemahkan serta mengejahwantakan bahwasan nya petani adalah pahlawan.
Dengan begitu saya yakin kedepan petani bisa menjadi pekerjaan tren yang harus terus dijaga dan diupayakan kelangsungan nya, menjadi pekerjaan yang dicari, pekerjaan yang membanggakan, pekerjaan yang populer.
Dunia pertanian harus di push . Dunia yang kuat adalah bergantung dari sektor pertanian yang kuat. Â Ayo kembali kedesa dan memanfaatkan lahan-lahhan kita di sana. Ayo kembali ke desa, jangan biarkan lahan-lahan itu tidur tidak tergarap, apalagi sampai beralih fungsi.
Sudah cukuplah industri-industri yang menyesakan, yang menyerobot lahan pertanian yang cenderung merusak, karena ketahanan pangan adalah yang utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H