Saat bekerja ditoko mebel tersebut saya menduduki posisi sebagai kepala gudang, yang memiliki tupoksi dan tanggung jawab mengenai status jumlah keseluruhan barang. Menerima barang masuk dari kiriman pabrik langsung maupun dari toko, serta mengeluarkan barang yang diambil baik dari sepermintaan toko atau customer langsung atas seizin pihak toko ataupun bos dengan bentuk laporan yang simultan.
Saya selaku pegawai yang lebih banyak mengurusi barang dan berkutat dalam gudang, otomatis tidak mengetahui seberapa besar laba toko, berapa jumlah omset total secara nominal namun yang saya tahu toko dimana tempat saya bekerja usaha nya relatif besar dan lancar, terlihat dari banyak nya siklus keluar masuk nya barang.
Secara kasat mata toko berkembang semakin besar dan makin nampak dengan dibuka nya cabang diluar kota. Cabang pertama ada di Sidoarjo dan sempat membuka cabang di Bandung yang akhir nya kolaps, bangkrut, gulung tikar dengan meninggalkan berbagai bentuk masalah hukum yang relatif kompleks.
Jika merinci cerita ini semua dengan sedetail-detail nya terkesan tidak etis dan bisa panjang melebihi satu buku. Namun banyak pelajaran dan bahan cerita yang bisa dibagi buat bahan pelajaran ataupun sisi-sisi yang bisa dipetik sebagai bentuk pelajaran.
Hanya pegawai tertentu memang yang menerima surat panggilan, tidak semua pegawai yang mendapat surat panggilan. Saat menerima surat panggilan tersebut sebenar nya dalam hati saya berontak. Kenapa saya harus menerima surat panggilan ini, sekalipun sebagai saksi. Karena  saya merasa saat bekerja semua laporan dilakukan secara simultan dan kontinyu.
 Jikalau ada kasus kehillangan barang diruang lingkup kerja saya, pastilah si bos sudah memecat sebelum nya. Saya merasa segala bentuk aspek hukum harus ditanggung bos semata tanpa perlu pemanggilan saksi, langsung proses berdasarkan data dan bukti.
Jadi seorang saksi ternyata tidak sedangkal yang saya bayangkan. Seorang saksi yang masuk diruangan khusus kepolisian untuk diambil keterangan nya bisa serasa sebagai seorang terdakwa.
Dalam penjelasan pihak kepolisian menyebutkan nominal terhutang toko setidak nya mencapai 5 Miliar rupiah. Nilai total tanggungan terhutang inilah yang menjadi beban bos dari berbagai pabrik dan bank yang menjadi rekanan toko bos sebelum nya.
Mendengar nominal sebesar itu, antara kaget dan tidak!. Saya tidak perduli dengan berapapun nominal nya.
Sedikit banyak nilai sebesar itu bisa ditaksir dari banyak nya rekanan pabrik yang tidak jarang melontarkan curhat pada saya saat masa-masa penagihan. Tidak jarang pula curhatan tersebut yang "berbumbu" cacian dan makian. Karena dimasa-masa krusial, saat masa-masa penagihan dari berbagai pihak, disaat itu juga bos kita sering menghilang ntah kemana.
Kondisi toko pun menjadi kolaps!. Padahal customer kita masih berjibun, baik yang dari dalam kota maupun yang dari luar kota. Operasional toko dengan begitupun tidak serta merta berhenti. Pemesanan dari berbagai customer tetap mengalir, sementara barang pesanan tidak mereka dapatkan, celaka!. Alhasil bisa ditebak suasana seperti apa yang bisa terjadi!.