Suara kokok ayam jago nenek berasa lebih merdu dan syahdu ketimbang suara "corong" mushola atau masjid dekat rumah dalam urusan membangunkan sahur. Kukuruyuk..., kukuruyuk..., kukuruyuk, tiga hingga lima kali bersahut- sahutan jagoan ayam nenek cukup sebagai pertanda buat bangunku untuk segera melaksanakan makan sahur.
Suara kokok ayam jago nenek tidak pernah meleset, tidak pernah telat ataupun keduluan dari suara-suara mushola ataupun masjid seputaran rumah saat membangunkan sahur warga sekitar.
Namun sayang sungguh disayang, moment tersebut cuman bisa saya rasakan diera tahun '87 hingga '90an. Saat tepat dimana saya mulai belajar berpuasa, sholat dan mengaji.
Suara ayam jago nenek lebih saya jagokan, ketimbang suara-suara (maaf) "corong" mushola dan masjid yang kadang agak memekik telinga dan terdengar brisik. Mungkin suara model tersebut karena pengaruh pengaturan echo dari sound system yang kurang pas barangkali.
Setelah tahun '90an, ayam-ayam nenek mulai habis. Sebagian memang sengaja dipotong buat acara syukuran dan semacamnya, beberapa karena sakit lantas mati. Dilain hal karena memang sudah tidak punya waktu sehingga tidak sempat mengurusi hingga akhirnya tidak pernah ternak sama sekali saat tahun 2000.
Dalam urusan membangunkan sahur, saya sedikit memiliki cerita dan pengalaman mengenai "sahur patrol", saat masih duduk dibangku sekolah dasar. Kegiatan tersebut diadakan sebagai rangkaian acara pondok Ramadhan disekolah.
Kita semua satu kelas dengan bimbingan guru agama dan beberapa guru lain yang berpartisipasi berjalan beriringan mengelilingi jalanan kampung seputaran sekolah. Sebagian membawa obor sebagai penerang jalan, beberapa anak lainnya memegang kentongan dari bambu.
Tung... tung... tung..., sahur... sahur. Sambil menyisir jalanan kita meneriakkan kalimat-kalimat tersebut berulang-ulang dari mulai sekitar pukul dua pagi hingga mencapai pukul tiga. Sahur patrol saat itu memang masih unik dan menarik. Masih bisa didapati ditempat kampung halaman era tahun '80an hingga '90an.
Sahur patrol yang kita lakukan sangat jauh berbeda dengan Sahur on the road yang kian marak pada masa sekarang. Yang banyak dilakukan oleh berbagai komunitas anak muda dan berbagai penggiat social.
Tidak ada konvoi jalanan yang bisa mengganggu lalu lintas yang bisa menimbulkan dampak buruk kemacetan. Tidak ada aksi corat coret, dan tidak pula membagi bagikan nasi bungkus atau semacam nya. Kita hanya berkeliling dengan tujuan membangunkan warga yang akan melaksanakan ibadah sahur untuk puasa esok.
Sahur patrol dan sahutan kokok ayam sudah tidak kita dapati dimasa modern seperti era sekarang. Kota dengan penduduk semakin padat, teknologi juga semakin maju sudah tidak membutuhkan metode sahur patrol guna membangunkan warga untuk bersahur.
Ada kegiatan yang menurut saya cukup unik, kegiatan yang serupa tapi tak sama, sebagai alih-alih pengganti sahur patrol. Mereka tidak membawa obor dan kentongan tapi yang mereka lakukan adalah parade marching band.
Aksi tersebut sebagai bentuk perwujudan latihan rutin kegiatan ekstrakulikuler, yang biasa mereka lakukan pada sore hari sepulang sekolah. Kini mereka mengganti jadwal kegiatan mereka bertepatan dengan jam waktu sahur.
Semenjak pukul dua pagi, derap langkah mereka sudah berlalu beriringan dalam alunan musik dan tabuhan masing-masing kelengkapan marching band. Mengirama memecah kesunyian  yang sekaligus sebagai penanda pembangun sahur.
Mereka tidak meneriakkan kalimat Sahur... sahur..., untuk membangunkan warga yang akan menjalankan sahur. Melainkan mereka hanya berjalan dengan ritme gerak jalanan yang teratur memutari sekolahan mereka yang kebetulan cuman berjarak hanya serratus meter dari tempat saya tinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H