Pada tanggal 29 April 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan bahwa ibukota Indonesia akan dipindahkan ke luar Pulau Jawa, tepatnya di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Hal tersebut dicantumkan dalam RPJMN 2020-2024. Sebenarnya, ide ini sudah lama tercetus jauh sebelum masa pemerintahan presiden Jokowi, yaitu tanggal 17 Juli 1957 oleh presiden Soekarno. Tapi pada saat itu, Presiden Soekarno memilih Palangkaraya sebagai ibukota. Namun, ide tersebut belum terealisasikan dan akhirnya dipilih lah Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Ide serupa juga muncul pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu tahun 1990-an karena tingkat  kemacetan dan banjir di Jakarta yang terbilang tinggi. Namun sekali lagi, ide tersebut tidak terealisasi sampai akhir masa jabatannya.
Keputusan pemindahan ibukota ini, yang disebut IKN, Â ditetapkan setelah melakukan kajian mendalam selama tiga tahun terakhir. Sekarang, kenapa Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara yang dipilih sebagai ibukota baru? Alasan pertama adalah karena daerah tersebut minim resiko bencana, seperti banjir, gempa, tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi, dan tanah longsor. Alasan kedua adalah lokasinya yang strategis di tengah Indonesia yaitu dengan rata rata 893 km ke seluruh provinsi di Indonesia. Alasan ketiga adalah daerah tersebut dekat dengan Balikpapan dan Samarinda yang merupakan daerah perkotaan besar yang sudah berkembang di Kalimantan. Alasan terakhir adalah karena infrastruktur yang ada di kedua kota besar tersebut sudah lumayan lengkap sehingga dapat menunjang ibukota baru nantinya.
Namun, sejak dari awal ide IKN ini dipublikasikan, sudah banyak muncul pro dan kontra terkait pemindahan ibukota Indonesia. Mantan Menteri PPN/Bappenas 2014-2015, Andrinof Chaniago, mengatakan bahwa pemindahan IKN ke Kalimantan Timur berdasarkan adanya pemusatan tunggal di Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta. Hal tersebut mengakibatkan tidak adanya pemerataan pertumbuhan perekonomian. Alasan lainnya adalah kegagalan penyebaran penduduk lewat kebijakan transmigrasi. Ia menyebut, penyebaran penduduk hanya berhasil di wilayah Sumatera Barat, sedangkan di Kalimantan dan Papua gagal. Hal ini menurutnya menyebabkan adanya ketimpangan sumber daya manusia, khususnya antara Jawa dan luar Jawa di bagian timur Indonesia.
Mantan wakil presiden, Jusuf Kalla, juga pernah menyampaikan bahwa ide pemindahan ibukota sudah tepat dan akan meningkatkan otonomi daerah menjadi lebih baik.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, juga setuju dengan ide tersebut karena menurutnya pemindahan ibukota dapat menangkal ancaman resesi global di Indonesia. Sedangkan dampak jangka pendeknya adalah dapat meningkatkan potensi investasi riil. Beliau juga mengatakan bahwa pemerataan dapat terwujud dan kesempatan kerja akan terbuka lebih banyak lagi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang baik.
Namun, tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa pemindahan ibukota ini merupakan ide yang tepat, contohnya koalisi Masyarakat Kaltim yang terdiri dari berbagai lembaga aktivis lingkungan. Menurut mereka, pemindahan ibukota akan mengancam lingkungan hidup Masyarakat dan satwa langka yang berada di Kabupaten Penajam serta Kutai Kartanegara. Selain itu, dikhawatirkan akan menggusur masyarakat adat seperti suku Balik dan suku Paser, serta warga transmigrant  yang bermukim di wilayah Sepaku.
Selain itu, Ekonom Institute for Development on Economics and Finance, Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa generasi milenial akan semakin sulit memiliki rumah di ibukota baru dikarenakan harga tanah yang mahal.
sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H