Mohon tunggu...
2Aji Setiawan
2Aji Setiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Simpedes BRI a/n Aji Setiawan ST KCP Bukateja no cc: 372001029009535
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

www.ajisetiawan1.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Santri Nasional

9 Oktober 2016   13:14 Diperbarui: 9 Oktober 2016   13:23 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, ‘imaratul ardhi’, yaitu membangun bumi dalam arti mengelola, mengembangkan, dan melestarikan semua yang ada. Jika hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia itu hukumnya wajib. Maka melestarikan, mengembangkan, serta mengelola pun hukumnya wajib. Sebagaimana di jelaskan dalam salah satu kaidah fiqih; “ma la yatimmu bihi wajib fahuwa wajibun”, sesuatu yang menjadikan kewajiban maka hukumnya pun wajib.

Gambaran di atas merupakan suatu peran serta tanggung jawab seorang santri, dalam hal pengembangan. Di situlah diperlukan suatu mentalitas religius serta totalitas kesadaran, karena kaum santrilah yang dapat dijadikan harapan dalam mengembalikan konsep-konsep ajaran Islam dan di sini muncullah beberapa pertanyaan. Bagaimana keadaan dan perkembangan kita sebagai seorang santri? Sudah sesuaikah seperti gambaran di atas? Dan layakkah kita disebut sebagai santri? Dengan merubah diri kita dululah, maka kita akan dapat menghasilkan perubahan.

Kata Jihad (berperang) dikeluarkan pada saat penjajah benar-benar sudah membahayakan keadaan dan keberadaan NKRI. Memperingati hari berperang tiap 22 Oktober 1945 kemudian ditetapkan sebagai hari Santri Nasional, bagi bangsa Indonesia patut disambut positif, karena mewarisi nilai semangat berjihad. Di Era sekarang di saat Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan damai bukan berperang, kita diajak untuk belajar pada sejarah. Bahwa nilai-nilai kebangsaan (bela negara) juga diajarkan di pesantren bahkan di sekolah sampai universitas perguruan tinggi mulai dari Pendidikan Moral Pancasila, PSBB, Mata Kuliah Pancasila, Penataran P4 bagi mahasiswa baru, Mata Kuliah Kewiraan (yang mengajar sarjana militer berpangkat minimal Kolonel) dll. Jihad juga tidak harus memanggul senjata dan berperang.

Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak harus selalu berada di atas panggung podium dengan pidato (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang besar sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy). (*****) Aji Setiawan, pemerhati masalah pendidikan tinggal di Purbalingga Jawa Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun