Justru di titik inilah letak kekuatan sekaligus kelemahan pers. Ia menjadi kekuatan informasi yang disebarkan sanggup menjadi penggalang opini publik, tapi di saat lain juga menjadi titik lemah yang dengan mudah menjadi alasan untuk membunuhnya—terutama yang datang dari kekuasaan.
Dari segi profesi, peran wartawan pun cap dianggap berbeda dengan jenis-jenis profesi lainnya. Padahal, kalau melihat output, yang dihasilkan: pekerjaan ini sama sekali tidak ada istimewanya. Yang diperlukan seseorang untuk menjadi seorang wartawan hanyalah ketrampilan menulis. Tapi karena profesi ini berhubungan dengan pemaparan fakta (yang sering identik dengan kebenaran) yang terjadi di tengah masyarakat, persoalan pun lantas menjadi lebih rumit. Sebab tidak semua pemaparan fakta disukai setiap orang. Di sinilah letak resiko itu: ketika kebenaran itu menjadi musuh bagi mereka yang merasa dirugikan dengan adanya aliran informasi yang bebas. Tak heran, bahkan seorang Arief Budiman pun tak segan menggolongkan wartawan sebagai bagian dari barisan intelegensia.
Paradigma kritis adalah sebuah pilihan dari Jurnalisme kritis yang sebenarnya telah lahir sejak munculnya jurnalisme pada abad 15-an. Rentangan sejarah panjang jurnalis merupakan sebuah tugas mulia dimana pers adalah sebuah institusi sosial yang pasti di dalamnya adalah fungsi komunikasi. Dan lebih spesifik lagi sebagai bagian pers nasional, pers menurut UU no 40 tahun 1999 mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan , hiburan dan kontrol sosial.
Kekerasan terhadap wartawan adalah perbuatan melanggar Undang Undang UU No 40 Pasal 2, dimana Kemerdekaan Pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi , keadilan dan supermasi hukum. Dan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kematian Udin sungguh misteri sampai kini. Kekerasan yang diterimanya jelas menciderai kemerdekaan setiap warga negara untuk melakukan kontrol sosial. Maka untuk melaksanakan dan menegakan hukum –rule of law diperlukan lembaga-lembaga tertentu yang mempunyai kekuasaan yang diakui. Karena itu maka kekuasaan dan hukum menjadi jaminan bagi yang berlaku atau demi tegaknya hukum.
Melalui sistem hukum , hak hak dan kewajiban-kewajiban ditetapkan bagi para warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu. Termasuk kalangan pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif). Sejalan dengan itu, kebebasan yang diberikan kepada golongan lain disertai tanggungjawab. Walaupun demikian, pada hakekatnya hukum merupakan suatu alat dari elite yang berkuasa yang sedikit jumlahnya digunakan untuk mempertahankan atau telah menambah kekuasaan. Dalam negara demokrasi kekuasaan itu diperoleh dari rakyat, jadi mempertahankan amanat rakyat.
Episode Lengsernya Soeharto dan berlanjut dengan Pemerintahan Reformasi secara berturut-turut Habibie, Gus Dur, Mega ternyata membawa dampak luarbiasa dalam perkembangan pers nasional. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia langsung masuk ke dalam barisan tiga negara yang dikategorikan memiliki kebebasan Pers, sesudah Filiphina dan Thailand. Beberapa organisasi pers, semacam AJI malah membentuk South East Asia Press Alliance (SEAPA), yang bertugas mengekspor kebebasan pers ke negara-negara tetangga.
Indikasi pers bebas di Indonesia kini memang tidak ada yang menyangkal. Media Massa, baik cetak maupun elektronik, sekarang nyaris tidak punya hambatan lagi dalam meliput dan menyiarkan berita. Semua tampil berani. Hampir tidak ada lagi tabu-tabu politik yang semasa Orba berkuasa begitu membelenggu ruang gerak pers. Apapun bisa ditulis: Keluarga Cendana, Cikeas, Century, Wisma Atlet, Proyek Hambalang sampai masalah HAM dan SARA. Semua bisa ditulis dan disebarkan. Begitupula dalam organisasi wartawan, semua bebas membentuk organisasi.
Kasus Udin dapat dismissalkan demi tegaknya hukum. Sehingga peran dan fungsi pers dapat dikuatkan dan masa depan pers nasional dijamin oleh banyak pihak, baik pemerintah, DPR, Kepolisian, dan rakyat. Apalagi kasus Udin secara hokum dinyatakan kadaluarsa secara hukum pada bulan Agustus tahun 2014.
Toh keragu-raguan terhadap masa depan pers nasional masih ada. Pertama, dengan persoalan kualitas jurnalisme itu sendiri. Pers bebas yang berjalan sekarang ternyata tidak diikuti oleh peningkatan kualitas jurnalisme. Yang ada hanya keberanian—sering tanpa disertai pertanggungjawaban moral terhadap dampak yang mungkin merugikan kehidupan masyarakat.
Kedua, adanya UU Pers yang menjamin kebebasan pers ternyata masih menyisakan kekerasan terhadap wartawan. Ini membuktikan masyarakat dan pemerintah belum sepenuhnya menjamin kekebasan pers dan berpendapat.
Ketiga, terkait kesejahteraan jurnalis. Kebebasan pers tanpa independensi dari wartawan tentu sulit ditegakan. Wartawan agar tetap independen, maka harus sejahtera. Tugas mulia jurnalis ini harus dihargai dengan nilai-nilai kepantasan agar kehidupan jurnalis menjadi lebih baik.