Mohon tunggu...
2Aji Setiawan
2Aji Setiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Simpedes BRI a/n Aji Setiawan ST KCP Bukateja no cc: 372001029009535
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

www.ajisetiawan1.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menggugat Hari Pers Nasional, Sekadar Mitos Pers Indonesia

5 Februari 2016   15:41 Diperbarui: 9 Februari 2019   06:25 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Selain IJB, organisasi wartawan lainnya adalah Sarekat Journalists Asia (berdiri 1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), serta Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Berbagai organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang akibat tekanan dari pemerintahan kolonial. Pada tahun 1984, melalui Peraturan Menteri Penerangan Harmoko (Permenpen) No. 2/1984, PWI dinyatakan sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang boleh hidup di Indonesia.

Namun sebelum itu semua, kehadiran Tirto Adhi Soerjo dengan “Medan Prijaji” adalah permulaan pertama menjadikan pers sebagai alat pergerakan. “Medan Prijaji” yang terbit pada 1 Januari 1907 mempunyai jargon kebangsaan ini kemudian berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar, sekaligus mengadvokasi publik dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom.

Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air. Di masa pergerakan, wartawan bahkan menyandang dua peran sekaligus. Wartawan berperan sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional. Selain itu wartawan juga berperan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategi sendiri dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Setelah mengetahui sejarah awal pers di Indonesia, kita dapat melihat bahwa pers di Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Pers Indonesia turut memberikan kesaksian, mencatat dan sekaligus menjadi pendorong perjuangan bangsa untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Saat ini diharapkan pers Indonesia dapat memberikan kontribusi positif untuk mengembangkan Indonesia ke arah yang lebih baik.

Reformasi telah bergulir, kebebasan pers saat ini bisa dinikmati oleh siapa saja dan berdampak besar bagi kemajuan hak berdemokrasi dan penegakan HAM. Tapi di balik cerita manis prosesi demokrasi dengan adanya kebebasan pers sendiri masih tersisa wajah buruk pers.

Kekerasan demi kekerasan terhadap wartawan terus terjadi. Simak saja laporan Tahunan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Pada periode Agustus 2011 hingga Juli 2012 saja, AJI mencatat terdapat 45 kasus kekerasan yang dialami jurnalis. “Setiap tahun angkanya selalu tinggi, yaitu di atas 40 kasus,” kata Kepala Divisi Advokasi AJI, Aryo Wisanggeni pada  malam resepsi ulang tahun ke-18 organisasi pers itu, di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (7/8).

Tapi dari sekian kasus yang menimpa wartawan itu, barangkali sampai sekarang yang tidak ada yang mampu menandingi tragisnya kematian Fuad Muhammad Safrudin, akrab dipanggil Udin, yang bekerja sebagai wartawan Bernas. Sejak penganiayaan yang terjadi pada 13 Agustus 1996 yang berbuntut tewasnya Udin, kasus tersebut belum terungkap jelas. Memang ada tersangka tunggal, Dwi Sumaji alias Iwik, namun Iwik didudukan di kursi terdakwa karena penyidik yakin ada latar love affair yang melibatkan Iwik dalam kasus pembunuhan tersebut. Sehingga latar belakang rekayasa dalam penanganan kasus semakin jelas. Padahal kasusnya sudah kadaluarsa pada 16 Agustus 2014.

Masalahnya, sejak awal, masyarakat dan kalangan Pers  yakin bahwa terbunuhnya Udin lebih banyak berkaitan dengan masalah pemberitaan. Keyakinan ini pula yang dipegang Tim Pencari Fakta PWI Yogyakarta yang dibentuk khusus untuk menelusuri latar belakang peristiwa penganiyaan tersebut. Tak pelak, kontroversi yang menyelimuti kasus yang terjadi di daerah Bantul pada kurun dekade 1996 dengan cepat masuk ke agenda Internasional. Sebab, ternyata, tak cuma kalangan pers dalam negeri yang menyorot kasus tersebut. Lembaga –lembaga internasional semacam : Internasional Federation of Journalists (Brussels), Commite to Protec Journalists (New York), Article 19 (London) dan Reportour Sans Frontier (Paris) pun menaruh harapan besar agar pelaku sebenarnya terungkap.

Tekanan terhadap pers dan jatuhnya korban di kalangan wartawan, sebagaimana sedikit diceritakan dalam kasus-kasus di atas, sebenarnya ironis dengan “nasib sejarah”yang dialami dunia pers saat ini. Di tengah gencarnya gelombang kompetisi antar pers yang semata-mata ditujukan untuk meningkatkan jumlah oplah, pers ternyata masih dipandang , setidaknya oleh sebagian pejabat pemerintah , sebagai sumber gangguan. Mitos pers sebagai pilar demokrasi keempat (sesudah lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif) yang sudah terlanjur melekat agaknya sulit dieliminasi begitu saja.   

Tekanan terhadap pers dan jatuhnya korban di kalangan wartawan, sebagaimana sedikit diceritakan dalam kasus-kasus di atas, sebenarnya ironis dengan “nasib sejarah”yang dialami dunia pers saat ini. Di tengah gencarnya gelombang kompetisi antar pers yang semata-mata ditujukan untuk meningkatkan jumlah oplah, pers ternyata masih dipandang , setidaknya oleh sebagian pejabat pemerintah , sebagai sumber gangguan. Mitos pers sebagai pilar demokrasi keempat (sesudah lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif) yang sudah terlanjur melekat agaknya sulit dieliminasi begitu saja.   

Ini sebenarnya paradoks: di satu sisi pers dihadapkan pada kenyataan historis sebagai sebuah industri yang harus memperhitungkan segala bentuk perhitungan untung rugi,  tapi di sisi lain, tak seperti lembaga –lembaga bisnis lainnya, ia juga tak mungkin menepis fitrahnya sebagai pencari dan penyebar informasi yang acapkali menghasilkan benturan-benturan kepentingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun