Birokrasi pemerintahan yang terlalu panjang dan terkesan kaku kerap kali menyulitkan layanan kepada masyarakat. Bahkan, administrasi publik yang dijalankan pemerintahan juga hampir selalu gagal dalam memberikan hasil sosial ekonomi yang memadai. Hal ini tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga terjadi di negara maju pada tahun 60an. Konferensi Minnowbrook II pada tahun 1988 menandai munculnya transfromasi administrasi publik dengan mengusulkan pemangkasan rantai birokrasi, demokratisasi, dan desentralisasi.
Teori New Public Management pertama kali diangkat oleh seorang profesor tamu di Universitas Oxford, yakni Christoper Hood, dalam bukunya berjudul ‘A Public Management for all Seasons’ yang terbit pada 1991. Hood menyatakan bahwa New Public Management tak ubahnya perkawinan silang dua hal yang berlawanan dimana salah satunya adalah kelembagaan ekonomi, sedangkan yang lain adalah manajerialisme bisnis yang berurutan. Teori New Public Management ini pada tahun berikutnya dimodernisasi oleh Osborne dan Gabler dengan buku mereka, yakni Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector.
New Public Management (NPM) pada dasarnya merupakan pendekatan sektor publik dengan mengadopsi prinsip sektor swasta demi meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas layanan publik. Penerapan NPM pada pengelolaan dana sawit Indonesia dituangkan dalam pendirian badan layanan umum dengan nama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Pemilihan bentuk badan layanan umum bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas pengelolaan keuangan dan pengambilan keputusan, efisiensi dengan orientasi pada kinerja dan mekanisme pasar, hingga pengelolaan organisasi oleh manajemen profesional.Â
Beberapa prinsip NPM oleh Osborne dan Gabler yang diadopsi oleh BPDPKS dapat diamati dari keterangan berikut :Â
Pertama, the government should steer, not row. Mario Cuomo menyatakan bahwa pemerintah tidak berkewajiban untuk memberikan layanan, tetapi wajib memastikan layanan itu disediakan. Dalam hal ini, BPDPKS sebagai BLU tidak serta merta menjalankan seluruh pembangunan proyek dan pelaksanaan program, tetapi lebih menekankan pada aspek fasilitasi dan regulasi. Hal ini diraih dengan program kemitraan dimana BPDPKS menjalin kersama dengan koperasi petani, perusahaan swasta, dan lembaga penelitian untuk melaksanakan programnya. Penerapannya terletak pada program Grant Riset Sawit yang hingga saat ini telah menerbitkan 243 publikasi ilmiah dengan melibatkan 1202 peneliti.Â
Kedua, pemerintah perlu memberdayakan masyarakat untuk memecahkan permasalahan mereka sediri alih alih dari sekedar meberikan layanan. Dana pengelolaan BPDPKS pada dasarnya dipungut dari export levy komoditas kelapa sawit yang dibayar oleh eksportir sawit. Oleh karena itu, BPDPKS merupakan wujud penyelesaian masalah masyarakat oleh masyarakat itu sendiri. Dalam penerapannya, BPDPKS mendorong partisipasi petani sawit dalam pengelolaan dan pengembangan, serta peningkatan produktivitas mereka. Data menyatakan bahwa dana alokasi peremajaan sawit rakyat (PSR) hingga Oktober 2023 mencapai Rp8,51 triliun dengan partisipasi 134.770 pekebun dan luasan lahan 306.486 hektare. Badan ini juga melakukan pembayaran pembelian minyak kelapa sawit, pembayaran biaya pengolahan CPO menjadi biodiesel, dan pembayaran biaya transportasi dari biodiesel sehingga meningkatkan potensi hilirisasi sawit di masa depan.
Ketiga, pembangunan BPDPKS didorong oleh misi, bukan aturan. Meskipun pendirian badan ini ditetapkan oleh aturan, tetapi kunci utama BPDPKS adalah misi pengembangan sektor perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Semua kebijakan dan program yang dilakukan harus sejalan dengan misi tersebut dan diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang, yaitu meningkatkan produktivitas, kualitas, dan daya saing produk kelapa sawit Indonesia.Â
Dengan demikian, penerapan teori New Public Management dalam BPDPKS merupakan kunci dari pencapaian misi pengembangan sektor industri kelapa sawit. Penekanan peran badan sebagai fasilitator dan regulator, pendorong partisipasi aktif masyarakat, serta orientasi pada hasil menjadikan organisasi ini lebih fleksibel dan tanggap akan kebutuhan industri kelapa sawit. Kedepannya, BPDPKS diharapkan dapat terus beradaptasi terhadap perubahan dan dinamika pasar sawit Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H