Mohon tunggu...
Salsabila Dyan
Salsabila Dyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/PKN STAN

Saya suka bermain duo lingo dan saya ambiviert

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksploitasi Sumber Energi Indonesia dan Polemik RUU EBT

27 Juni 2024   14:49 Diperbarui: 27 Juni 2024   15:11 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

         Data menunjukkan bahwa pada tahun 2023 PLN memproduksi dan atau membeli listrik sebesar 323,3 ribu gigawatt-hour (GWh). Sementara itu, listrik yang dijual ke pelanggan adalah sebesar 288,4 ribu GWh dan listrik yang dipakai sendiri atau susut adalah sebesar 28,8 ribu GWh. Kondisi ini menyebabkan oversupply energi listrik sebesar 6,1 ribu GWh.

         Persoalan oversupply listrik apabila dirunut dari penyebab masalah terjadi karena kesalahan asumsi pertumbuhan konsumsi listrik. Infrastruktur kelistrikan dibangun secara masif dengan menggunakan perkiraan tahun 2015. Selama ini, asumsi pertumbuhan konsumsi listrik dihitung 1,3 kali dari asumsi pertumbuhan ekonomi. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% pada tahun 2023, maka PLN memperkirakan akan terjadi peningkatan konsumsi listrik sebesar 7% - 8% di Pulau Jawa. Namun, sebuah penelitian terbaru menyatakan bahwa korelasi pertumbuhan ekonomi terhadap pertumbuhan konsumsi listrik turun dari 1,3 menjadi 0,87 saja. Informasi tambahan juga mengoreksi bahwa pertumbuhan ekonomi tidak 6,1%, melainkan 5.1%. Hal ini tentu saja menyebabkan celah yang cukup besar dalam supply dan demand kelistrikan Indonesia.

          Persoalan oversupply listrik pada akhirnya sangat membebani PLN. Diketahui bahwa PLN melakukan kontrak secara TOP dengan swasta. TOP sendiri mengacu pada mekanisme 'take or pay' atau 'ambil atau beli' dimana PLN diharuskan untuk membeli kelebihan supply listrik yang telah disetujui atau akan dikenakan penalti. Direktur PLN pada Februari 2023 menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan renegoisasi dengan pihak ketiga sehingga dapat memangkas beban sebesar 40 triliun rupiah.

          Berbagai persoalan terkait sumber energi semakin rumit dan kompleks seiring berjalannya waktu. Ketersediaan sumber energi berbasis fosil yang terbatas, tingkat ekspolitasi yang tinggi, serta masih banyak permasalahan lain yang membutuhkan perhatian khusus. Disinilah peran pemerintah diperlukan. Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sehingga mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 dengan menandatangani Paris Agreement. Pemerintah Indonesia sendiri juga menargetkan peningkatan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% di tahun 2025. Selanjutnya, diperlukan suatu regulasi di dalam negeri yang dapat mendorong pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) sehingga sumber energi dapat terjamin dalam jangka panjang dan manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, DPR mengajukan inisiatif terkait RUU EBT. RUU EBT akan bertindak sebagai regulasi sebagai payung hukum, penguatan lembagan dan tata kelola investasi serta sumber EBT untuk pembangunan.

          Kendati demikian, proses perundang undangan RUU EBT mengalami banyak kendala sampai saat ini. Beberapa hal kontroversial muncul dari pembahasan RUU EBT. Diantaranya adalah potensi masuknya energi nuklir di Indonesia serta terminologi yang dapat menyebabkan kesalahan alokasi dana di masa depan.

          Pengaturan tentang Nuklir dalam RUU EBT disoroti banyak pihak karena melibatkan banyak pasal, dalam hal ini pasal 10 -- pasal 15. Dalam artian, pembahasan nuklir dalam RUU EBT ini bahkan lebih rinci daripada UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Kesan yang ditunjukkan adalah seakan akan nuklir dijadikan sumber energi andalan di masa depan. Tujuan utama dari RUU EBT adalah untuk menurunkan emisi karbon. Alangkah lebih baik ketika pembahasan yang ada dalam RUU EBT mengatur tentang potensi EBT Indonesia yang tertinggal dari negara negara lain.

          Terminologi yang digunakan dalam RUU EBT juga menuai persoalan. Dalam RUU EBT dikenal dua sumber energi, yakni sumber energi baru dan sumber energi baru terbarukan. Sumber energi baru dalam hal ini masih mencakup olahan batu bara dan beberapa sumber daya fosil lainnya. Dengan digabungkannya dua sumber energi tersebut dalam RUU EBT, dikhawatirkan aliran dana justru mendorong eksploitasi sumber daya fosil daripada mendorong pengembangan potensi EBT di Indonesia.

          Segala persoalan terkait sumber energi perlu ditangani dengan serius karena mencakup pemenuhan kebutuhan masyarakat luas. Konsumsi yang semakin tinggi setiap tahunnya mendorong eksploitasi sumber daya yang sifatnya terbatas. Kendati demikian, asumsi yang handal perlu diterapkan dalam menangani fenomena ini. Penanganan sumber daya secara optimal akan jauh lebih efektif daripada mendorong produksi sumber daya secara masif. Salah satu penerapannya adalah pada kasus oversupply listrik PLN. Selain itu, diperlukan regulasi yang mendorong terciptanya sumber energi baru terbarukan dengan payung hukum yang kuat. Regulasi ini kedepannya diharapkan dapat betul betul fokus dalam pengembangan potensi EBT Indonesia alih alih mengatur sumber energi lain yang dapat diatur dengan mekanisme lainnya.

Referensi

 

Afriyadi, A. D. (2023, February 8). PLN Pangkas Beban Take or Pay Rp 40 Triliun, Apa itu? Detikfinance. https://shorturl.at/fOEne

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun