Mohon tunggu...
Ni Putu Widiasih
Ni Putu Widiasih Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Just an ordinary human

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Ngaben dan Palebon, Apakah Ngaben Itu Boros?

10 Juli 2023   14:31 Diperbarui: 10 Juli 2023   14:39 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

APA BEDANYA NGABEN DAN PALEBON? APAKAH NGABEN ITU DIKATAKAN BOROS?

Dalam Agama Hindu jika terdapat seseorang yang mengalami kematian, maka badan kasar dari orang tersebut akan dibakar dan diupacarai, upacara tersebut merupakan upacara pembakaran mayat yang biasa dilakukan di beberapa daerah terutama di Bali sesuai tradisi dari setiap daerahnya. Upacara pembakaran mayat itulah yang disebut dengan nama Ngaben. Upacara Ngaben ini sesungguhnya sudah ada sejak masa keturunan kaisar Bharata tepatnya di India yang sudah ada sekitar 400 tahun Sebelum Masehi. 

Pada kala itu, upacara Ngaben ini yang merupakan upacara pembakaran mayat, dipercaya bahwa dengan dibakarnya badan kasar tersebut maka akan menyatukan kembali manuasia dengan alam dan membebaskan jiwa dari keterikatan duniawi. Sehingga seiring berjalnnya waktu, upacara Ngaben ini terus dijalankan mulai dari generasi ke generasi oleh umat Hindu. Meskipun upacara Ngaben ini merupakan upacara pembakaran mayat, tetapi Ngaben memiliki perbedaan dengan yang namanya kremasi. 

Kremasi memang umum dilakukan oleh beberapa negara baik itu akibat latar belakang agama maupun tradisinya, akan tetapi di Indonesia mayoritas jika terdapat seseorang yang menin ggal yaitu mayatnya dikubur dan tidak di bakar. Meskipun begitu, di Bali yang memang mayoritasnya adalah orang-orang yang beragama Hindu melakukan upacara Ngaben ini sesuai dengan tradisi dan kebiasaan di daerah mereka masing-masing.

Ngaben dan Palebon memang sama-sama merupakan upacara pembakaran mayat, akan tetapi Ngaben dan Palebon ini memiliki perbedaan yang mendasar. Jika Ngaben adalah suatu upacara pembakaran mayat yang biasanya dilakukan masal di beberapa daerah terutama di Bali, maka Palebon sendiri merupakan suatu upacara pembakaran mayat yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kasta seperti Ksatria maupun Brahmana. Seperti yang telah diketahui, di dalam Agama Hindu terdapat yang namanya Catur Warna. 

Dimana, Catur Warna ini sendiri merupakan empat macam pilihan hidup yang berdasarkan pada bakat yang dimiliki oleh seorang pribadi. Pada hakikatnya, Catur Warna berasala dari bahasa Sanskerta, dimana catur memiliki arti empat dan warna artinya pilihan. Tidak memungkiri ajaran Catur Warna ini kerap kali dipandang negatif baik itu dimaksudkan dalam perbedaan kasta ataupun kelas sosial. Catur Warna ini juga memiliki empat bagian-bagiannya, diantaranya yaitu :

  • Brahmana, dalam hal ini orang-orang yang disebut sebagai kaum Brahmana adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menekuini ilmu keagamaan dan pengetahuan-pengetahuan suci. Biasanya kaum Brahmana adalah seorang pendeta maupun kaum agamawan lainnya. Jika kalian mengetahui kisah tentang Mahabharata, maka salah satu contoh kaum Brahmana dalam kisah Mahabharata adalah Bisma putra dari Dewi Gangga.
  • Ksatria, ksatria dalam hal ini merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam ilmu pemerintahan. Pada zaman dahulu, kaum ksatria adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan senjata dan penegak hukum. Kembali lagi ke kisah Mahabharata, contoh kaum Ksatria disana dalah Pandawa dan Kurawa. Kaum Ksatria juga disebut sebagai kaum pelindung baik dari kaum Brahmana, Waisya maupun Sudra.
  • Waisya, dalam hal ini kaum Waisya adalah orang-orang yang bergerak di bidang ekonomi. Atau lebih singkatnya, pada dahulu kala orang-orang yang menjadi golongan pedagang disebut kaum Waisya. Kaum Brahmana, Ksatria serta Waisya juga disebut dengan sebutan Tri Wangsa karena mereka merupakan penopan bagi rakyatnya dalam hal kemakmuran dan kesejahteraan. Kaum Waisya ini memiliki kewajiban di dalam memenuhi kebutuhan Sandang, Papan maupun Pangan dengan kemampuan yang mereka miliki di bidang bisnis ekonomi.
  • Sudra, dalam hal ini kaum Sudra adalah orang-orang yang biasanya membantu kaum Brahmana, kaum Ksatria maupun Waisya. Biasanya kaum Sudra mengandalkan kekuatan jasmaninya. Orang-orang pada kaum Sudra merupaka pribadi yang berwatak tekun dan taat.

Meski demikian, pada saat ini, perbedaan antara kaum Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra harusnya menjadi suatu kesatuan yang utuh karena keempat bagian dari Catur Warna itu sendiri saling memiliki keterikatan antara satu dan yang lainnya. Maka dari itu, upacara Palebon yang disebutkan sebelumnya, terutama di Bali biasanya dilakukan oleh orang-orang dari kaum Brahmana dan Ksatria, misalnya saja oleh pihak Puri-Puri yang ada di Bali. Hingga saat ini, baik upacara Ngaben maupun Palebon kelestariannya masih sangat dijaga dan dilakukan.

Tidak sedikit argumen yang mengatakan bahwa Ngaben adalah hal yang boros. Akan tetapi, kita sebagai Umat Hindu diajarakan untuk melakukan sebuah Yadnya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Terlebih lagi, jika kita melakukan Yadnya hanya untuk tujuan pamer, maka Yadnya yang kita lakukan tidak akan ada artinya. Sebaliknya jika kita melakukan Yadnya dengan rasa tulus ikhlas, maka Yadnya yang kita jalankan pasti akan diterima dan memberikan dampak yang baik terlepasa dari apakah Yadnya yang kita lakukan itu besar atupun kecil. Pada upacara Ngaben terutama Umat Hindu di Bali, pada umumnya dilakukan dengan masal dan bukan perseorangan. Akan tetapi, hal tersebut dilakukan sesuai kesepakatan dan tradisi yang biasanya dilakukan di daerah asal masing-masing. Terdapat orang yang melakukan upacara Ngaben dengan sendiri ataupun dengan masal di suatu banjar. Akan tetapi, di beberapa daerah terutama di Bali, biasanya terdapat beberapa tradisi maupun aturan yang tidak memperbolehkan masyarakatnya untuk melakukan upacara Ngaben hanya dengan satu keluarga, biasanya dilakukan dengan seksama secara masal di waktu tertentu di desa tersebut. Upacara Ngaben juga memiliki beberapa jenisnya tersendiri yaitu :

  • Ngaben Sawa Wedana, dalam hal ini, upacara Ngaben dilakukan dengan seseorang yang nantinya akan dikremasi yang tubuh fisiknya masih utuh sampai acara tersebut dimulai. Upacara Ngaben yang satu ini lumayan umum dikenal oleh masyarakat.
  • Ngaben Asti Wedana, upacara ini merupakan salah satu upacara Ngaben yang biasanya dilakukan setelah jenezah telah dikubur sebelumnya. Seperti yang dijelaskan diatas, beberapa desa terutama di Bali biasanya melakukan Ngaben masal, dalam hal inilah biasanya Ngaben Asti Wedana ini dimaksudkan.
  • Swasta, upacara satu ini biasanya dilakukan dengan tanpa adanya jenaxah yang dikremasi. Kejadian yang tidak terduga seperti halnya jenazah yang menghilang baik karena kecelakaan maupun hal lainnya, maka upara Ngaben Swasta inilah yang biasanya diterapkan.
  • Ngelungah, upacara satu ini merupakan upacara Ngaben bagi anak-anak yang belum berganti gigi maupun pada bahasa lebih mudahnya yaitu bagi anak-anak berusia 5-6 tahun.
  • Warak Kuron, dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan Ngelungah. Warak Kuron merupakan upacara bagi anak-anak yang berusia 3-12 bulan atau lebih jelasnya yaitu bayi.

Dari beberapa hal yang telah disebutkan, maka upacara Ngaben itu sesungguhnya tidak boros, akan tetapi kadangkala orang-orang yang melakukan upacara tersebut yang kurang bijak dalam memaknainya. Dalam ajaran Agama Hindu, sepatutnya kita mengamalkan ajaran Sad Ripu. Diamana Sad Ripu sendiri merupakan enam hal egatif yang harus dapat kita kendalikan. Untuk menepis pikiran maupun perkataan yang negatif baik mengenai apakah Ngaben itu boros dan sebagainya, kita patunya dapat mengendalikan hal tersebut. Perbuatan dan pikiran yang buruk tentunya tidak akan menghasilakan karma yang baik. Dalam Agama Hindu juga diajarakan tentang adanya Karmaphala, dimana Karmaphala itu sendiri merupaka hukum sebab akibat. Jika kita melakukan hal yang tidak baik dan pikiran yang negatif dan mudah terpengaruh hal-hal buruk, maka secara tidak langsung kita tidak akan dapat merasakan ketenangan dan kebahagiaan, yang ada hanyalah rasa benci, dengki dan iri hati. 

Dalam melakukan suatu Yadnya, sama halnya dengan membiasakan diri dalam bagaimana berbuat dengan ketulusan hati dan tanpa mengharapkan imbalan. Maka dari itu, tidak ada Yadnya yang tidak mungkin dilakukan, hanya saja kita sebagai umat manusia harus bijak dalam memaknai apa sebenarnya Yadnya tersebut. Tidak peduli seberapa mewahmaupun sederhananya upacara yang dilakukan, asalkan sudah berdasarkan pada hati yang tulus ikhlas, maka apapun yang dibuat pasti akan diterima dengan baik dan mendapatkan hikmahnya. Maka dari itu, sebagai umat beraga hendaknya kita tetap berada di jalan kebenaran dan selalu berbuat baik agar apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. Tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk berbuat buruk, jagalah rasa toleransi antar sesama umat sehingga menciptakan hubungan yang harmonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun