Tulisan ini akan menjelaskan tentang Gerakan separatisme terhadap minoritas muslim di Thailand. Muslim Pattani merupakan golongan muslim melayu yang tinggal di Selatan Thailand, yaitu di Provinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat. Jumlah populasi muslim melayu yang tinggal di sana mencapai 80 persen yang membuat dimensi kehidupan di Thailand Selatan memiliki karakteristik yang berbeda dibanding wilayah lain di Thailand yang dihuni oleh mayoritas etnis Thai dan beragama Buddha. Ketiga Provinsi tersebut dianggap memiliki ikatan historis melayu yang sangat kuat sehingga dalam praktiknya tata kehidupan sosial dan religi Masyarakat Pattani memiliki perbedaan fundamental dengan bangsa Thai.
Sebagai salah satu minoritas terbesar kedua setelah etnis China, kelompok muslim Pattani sering mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah Thailand dalam aspek social dan urusan politik. Sejarahnya, sejak abad ke-12 Agama Islam mulai masuk ke daerah Pattani dan kemudian diadopsi oleh Masyarakat sekitar dan menjadi agama oleh mayoritas populasi di sana. Pattani kemudian masuk dan terintegrasi ke dalam wilayah Kerajaan Pattani Pattani, seiring berkembangnya waktu Pattani masuk sebuah wilayah yang saat ini menjadi bagian dari Thailand selatan, memiliki sejarah yang kaya dan kompleks dalam hal integrasinya ke dalam wilayah Kerajaan Siam (sekarang dikenal sebagai Thailand). Wilayah ini memiliki sejarah yang panjang sebagai sebuah kerajaan yang mandiri sebelum akhirnya menjadi bagian dari Siam.
Meskipun menjadi bagian dari Kerajaan Siam, Pattani tetap mempertahankan identitas, budaya, dan agama Islam yang kuat. Pemerintah Siam pada masa itu membiarkan Pattani mempertahankan otonomi dalam hal urusan lokal, termasuk sistem pemerintahan dan hukum Islam.
Namun, seiring berjalannya waktu, terutama pada abad ke-20, kebijakan sentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat Thailand cenderung mengurangi otonomi yang telah diberikan kepada wilayah-wilayah seperti Pattani. Hal ini menciptakan ketegangan politik, sosial, dan budaya di antara penduduk Muslim di wilayah tersebut dengan pemerintah pusat di Bangkok.
Sejak terintegrasi ke dalam wilayah Siam atau yang sekarang dikenal dengan nama Thailand, kelompok muslim Pattani mulai kehilangan kultur mereka akibat adanya kebijakan asimilasi yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand. Asimilasi yang dilakukan bersifat penetrasi yang dipaksakan sehingga menimbulkan pergolakan oleh kelompok Pattani. Menurut Soebandi (2011;40) Resistansi yang paling kuat yang dilakukan oleh pemerintah Thailand yakni ketika berusaha menghancurkan kekuatan struktur lokal yang dianggap oleh Masyarakat Pattani sebagai asimilasi yang menghancurkan dan membahayakan islam serta budaya melayu. Penghapusan ponoh atau pondok, sekolah keagamaan, adalah salah satu sumber resistensi terhadap pemerintah nasional Thailand. Ponoh adalah lembaga penting yang mempertahankan identitas bangsa. Kepala guru atau disebut sebagai Tok Guru menjadi pemimpin komunitas secara faktual, menjaga keyakinan, dan mengangkat identitas Melayu ketika penguasa Thai mengganti elit tradisional dengan orang Budha beretniskan Thai. Hasilnya, muncul organisasi gerakan orang Pattani seperti PULO (Pattani United Liberation Organization) dan BRN, munculnya gerakan perlawanan yang mengusung identitas politik yang bertentangan dengan pemerintah Budha Thailand mengakibatkan efek domino berkepanjangan akibat keinginan kelompok Pattani untuk memerdekakan diri dari wilayah territorial Thailand.
Pemerintahan Thailand sering menggambarkan Thai Muslim, atau lebih dikenal sebagai Muslim Patani, sebagai kelompok Muslim yang sering melakukan gerakan perlawanan bersenjata serta menentang sikap dan perlakuan diskriminatif pemerintah Thailand. Berita media juga menggambarkan kekerasan yang sering terjadi dan diwarnai dengan aksi balas dendam, yang mengakibatkan banyak korban, baik dari komunitas Muslim maupun dari masyarakat Thai.
Isi
Tulisan ini mencoba untuk melihat kasus Gerakan Separatisme Pattani ini melalui konsep dan Teori Hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci dapat memberikan wawasan yang penting terkait gerakan separatisme di Pattani, Thailand, terutama dalam konteks upaya pemerintah Thailand untuk memaksa wilayah ini untuk mengikuti budaya Thai. Pattani, bersama dengan wilayah-wilayah di selatan Thailand, telah mengalami ketegangan sejarah antara pemerintah pusat yang didominasi oleh mayoritas etnis Thai-Buddha dan penduduk lokal yang mayoritas adalah Muslim Malay. Konflik ini tercermin dalam upaya pemerintah Thailand untuk memaksakan budaya Thai dan identitas Thai-Buddha ke wilayah Pattani melalui berbagai kebijakan yang bersifat memaksa dan berpengaruh terhadap keutuhan kultur Islam Melayu yang menjadi karakteristik mereka. Dalam teori Hegemoni Gramsci, konsep utama adalah hegemoni, yang mengacu pada dominasi kelompok atau kelas tertentu atas kelompok lain melalui penguasaan budaya, politik, dan institusional. Penguasaan ini tanpa sadar akan menarik orang lain untuk masuk ke dalam hegemoni tersebut sehingga menormalisasi bentuk hegemoni tersebut dengan menumbuhkan kesadaran palsu ke masyarakat.
Pemerintah Thailand menggunakan hegemoni untuk mempertahankan kekuasaan mereka dengan membuat budaya Thai menjadi norma di wilayah Pattani. Ini dilakukan dengan berbagai strategi, seperti penggunaan bahasa Thai di sekolah, promosi agama Buddha, dan penekanan pada identitas Thai. Ini dilakukan untuk menguasai wilayah tersebut, menghilangkan identitas lokal, dan membatasi kebebasan mereka untuk beragama dan berbudaya. Namun, dominasi dalam teori Hegemoni tidak stabil. Gramsci menekankan bahwa kelompok yang dikuasai tidak hanya menerima hegemoni secara pasif dari kelompok yang mengontrol mereka. Mereka juga memiliki kemampuan untuk melawan hegemoni.
Ada kemungkinan bahwa gerakan separatisme Pattani adalah reaksi terhadap dominasi pemerintah Thailand. Untuk menghindari upaya pemerintah untuk memaksa budaya Thai, kelompok separatis berusaha mempertahankan identitas dan kebebasan budaya mereka. Mereka menuntut otonomi budaya dan politik, menentang dominasi pemerintah pusat, dan berjuang untuk pengakuan identitas yang berbeda. Dengan mempertimbangkan teori Hegemoni Gramsci tentang gerakan separatisme di Pattani, Thailand, penting untuk memahami bahwa konflik ini juga menunjukkan dinamika sosial yang lebih kompleks, yang mencakup elemen historis, ekonomi, dan politik..
Sejarah Pattani penuh dengan identitas budaya yang berbeda dari mayoritas Thai-Buddha di seluruh Thailand. Di bawah pemerintahan sentral, kekuatan ekonomi, politik, dan sosial di wilayah ini telah merasakan ketidaksetaraan dalam pembagian sumber daya dan kesempatan. Pemerintah pusat Thailand sering mengabaikan kemajuan dan kesejahteraan wilayah selatan, yang menyebabkan ketidakpuasan rakyat. Dalam perspektif Hegemoni Gramsci, konflik ini dapat digambarkan sebagai perjuangan untuk mendapatkan hegemoni alternatif. Tujuan gerakan separatisme Pattani adalah untuk menciptakan identitas budaya dan politik yang lebih inklusif yang menerima dan menghargai identitas lokal sambil menantang dominasi pemerintah pusat.
Pada saat yang sama, pemerintah Thailand terus berusaha untuk menjaga supremasi budaya Thai dan integritas wilayahnya. Untuk menghentikan gerakan separatisme, kekuatan politik, kontrol media, dan teknik keamanan yang keras digunakan. Dalam analisis yang lebih luas, teori Hegemoni Gramsci menunjukkan betapa pentingnya konflik politik untuk membentuk dinamika sosial, di mana perjuangan politik mencakup pertempuran fisik selain pertempuran ideologis, identitas, dan kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa perubahan hegemoni di ruang politik dan budaya dapat menjadi bagian penting dari upaya perubahan sosial. Salah satu elemen penting dalam penyelesaian konflik Pattani adalah pengakuan terhadap pluralitas budaya, mengakui identitas lokal, dan mendukung keadilan sosial. Dalam menangani konflik dan ketidaksepakatan, pendekatan yang memberdayakan dan inklusif yang mempertimbangkan keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal mungkin lebih berhasil.
Sebuah gerakan separatis di Pattani, Thailand, telah dikaitkan dengan berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang berusaha memisahkan wilayah itu dari pemerintah Thailand. Konflik ini telah berlangsung selama beberapa dekade dan memiliki hubungan yang kompleks dengan diskriminasi lokal terhadap kebijakan pemerintah Thailand. Salah satu faktor pendorong utama gerakan separatisme adalah rasa diskriminasi yang dirasakan oleh komunitas Muslim Malay di selatan Thailand. Mereka merasa diabaikan oleh pemerintah pusat yang didominasi oleh mayoritas etnis Thai-Buddha dalam hal pembangunan ekonomi, peluang pendidikan, dan pembagian sumber daya. Penduduk lokal sangat tidak puas dengan kebijakan-kebijakan tersebut.
Serangkaian serangan terhadap pemerintah, penegak hukum, dan warga sipil Thai-Buddha telah dilakukan oleh kelompok bersenjata separatis, termasuk Barisan Pembebasan Nasional Pattani (BRN) dan kelompok lainnya. Dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan separatisme, mereka menggunakan taktik kekerasan seperti pengeboman, serangan bersenjata, dan pembunuhan.
Pemerintah Thailand telah mengambil tindakan tegas terhadap tindakan ini. Pemerintah menanggapi serangan-serangan tersebut dengan melakukan operasi militer yang intensif, meningkatkan kehadiran militer di wilayah selatan, dan kadang-kadang menggunakan kekerasan melampaui batas untuk memerangi kelompok separatis. Namun, tanggapan tegas pemerintah telah mendapat kritik dari banyak pihak karena pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan, termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan tuduhan bahwa tidak ada proses hukum yang adil terhadap warga sipil yang diduga terlibat atau terkait dengan gerakan separatisme. Terdapat hubungan yang kompleks antara diskriminasi yang dirasakan masyarakat Pattani dan aktivitas teroris. Meskipun kelompok separatis menggunakan kekerasan dalam upaya mereka untuk memisahkan wilayah tersebut dari Thailand, dorongan mereka juga berasal dari keinginan untuk memperoleh pengakuan ekonomi, politik, dan budaya dari pemerintah pusat yang telah diabaikan.
Di Pattani, Thailand, gerakan separatisme telah menyebabkan konflik yang rumit dengan pemerintah pusat. Dalam konteks ini, terorisme adalah salah satu cara perlawanan bersenjata terhadap hegemoni budaya dan politik yang diterapkan pemerintah Thailand. Diskriminasi yang telah lama dirasakan oleh penduduk lokal di wilayah tersebut adalah faktor lain yang memengaruhi konflik ini. Pemerintah Thailand telah mendiskriminasi masyarakat Pattani sejak lama. Mayoritas orang di wilayah tersebut adalah Muslim Malay, tetapi mayoritas orang di pemerintah pusat Thailand adalah Thai-Buddha. Kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal telah diabaikan oleh kebijakan pemerintah Thailand dalam hal bahasa, pendidikan, agama, dan kebijakan ekonomi, yang menyebabkan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang signifikan.
Penduduk Pattani mengalami diskriminasi sistemik dalam berbagai hal, seperti ketidakadilan sistem hukum, peluang ekonomi yang adil, dan akses pendidikan yang layak. Ketidaksetaraan ini menimbulkan ketegangan sosial yang dalam, yang kemudian menjadi faktor pendorong utama gerakan separatis Pattani. Kekerasan adalah sarana utama dalam gerakan separatis yang dilakukan oleh kelompok bersenjata seperti Barisan Pembebasan Nasional Pattani (BRN) dan kelompok lain. Gerakan ini menggunakan serangan bom, serangan bersenjata, dan upaya lain untuk menimbulkan kekacauan.
Namun, ada beberapa komunitas Pattani yang menentang tindakan terorisme ini. Banyak orang lebih suka pemisahan secara damai, otonomi politik dan budaya yang diakui, dan transformasi struktural yang adil dan inklusif.
Jadi, gerakan separatisme dan terorisme di Pattani adalah hasil dari konflik lama yang disebabkan oleh diskriminasi sistemik yang dirasakan masyarakat lokal. Pemerintah Thailand harus mengambil pendekatan yang lebih inklusif dan adil, mendengarkan aspirasi orang Pattani, dan membuat solusi politik yang mempertimbangkan keberagaman budaya dan memberikan keadilan sosial tanpa diskriminasi kepada semua orang di Thailand. Untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung lama ini, penyelesaian yang damai dan berkelanjutan sangat penting.
Daftar Pustaka
Arismunandar, A., Afriantoni, A., & Asmuni, A. (2019). Melayu Pattani Thailand: Muslim minority religion expression in the middle of non Muslim majority. Journal of Malay Islamic Studies, 3(1), 63-74.
CIVIL SOCIETY & ETHNIC CONFLICT - A Comparative Case Analysis of Civil Society & Ethnic Conflict in Thailand & Malaysia Authors: Pierre Nikolov, Daniel Sem
Kusuma, B. M. A. (2016). Patani United Liberation Organization: From Jihad to Local Politics Movement. The Indonesian Journal of Public Administration, 2(1).
Manan, A., Armi, F. R., & Amri, W. Y. (2022). The Expansion of Islam in Pattani, South Thailand: A Historical Analysis. Journal of Al-Tamaddun, 17(1), 85-95.
Pramudita, G. R., Fasisaka, I., & Resen, P. T. K. (2015). Tindakan Pemerintah Thailand Dalam Merespons Gerakan Etnonasionalisme di Thailand Selatan Tahun 2004-2006. Hasil Penelitian. Kabupaten Badung: Universitas Udayana, tt.
Rachar, M. (2016). Power, hegemony, and social reality in Gramsci and Searle. Journal of Political Power, 9(2), 227-247.
Sobandi, K. R. (2011). Separatisme di Asia Tenggara: Antara penguasa dan gerakan nasionalis kelompok minoritas. dalam Jurnal Kajian Wilayah, 2(1), 35-55.
Yuniarto, P. R. (2005). Minoritas Muslim Thailand Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Akar Gerakan Separatisme. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 7(1), 89-118.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H