Mohon tunggu...
Tante Paku  A.k.a Stefanus Toni
Tante Paku A.k.a Stefanus Toni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Membaca dan menulis hanya ingin tahu kebodohanku sendiri. Karena semakin banyak membaca, akan terlihat betapa masih bodohnya aku ini. Dengan menulis aku bisa sedikit mengurangi beban itu. Salam, i love you full.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Media Hantu Menguji Toleransi Kita

17 Agustus 2016   22:40 Diperbarui: 18 Agustus 2016   02:44 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

                                                                                    

Sudah lama Nusantara yang berganti jadi Indonesia adalah bangsa yang ramah, pekerja keras, dan saling menghargai. Namun dengan mengalirnya agama-agama dari bangsa lain, atas nama Allah atas nama Tuhan atas nama Dewa atas nama Yang Maha Kuasa versi agamanya, mereka berhak mengenalkan agamanya. Lalu Indonesia menjadi penuh umat beragama, namun seiring kemajuan zaman, identitas-identitas agamais harus diuji kembali. Kita yang cinta damai harus ikut prihatin setiap ada kericuhan di Indonesia, agama selalu menjadi menu yang dihembuskan berhari-hari dengan banyak versi.Apakah keramahan bangsa Indonesia dalam kenyataan masa kini akan tertutupi oleh kuatnya agama dalam membungkam HAK kita dalam kemerdekaan dan keramahan selama ini, dengan mengedepankan budaya kekerasan atas nama agamanya?

Dalam semua sejarahnya, kehadiran agama (Agama apa saja), selalu ditentang oleh umat yang tidak memeluk agama tersebut, bahkan sering terjadi bentrokan disertai pembunuhan. Dan ketika agama tersebut menjadi besar serta umatnya bertambah, mereka pun melakukan pengulangan sejarah kembali, menyerang mereka yang menghadirkan keyakinan baru, ritual baru, atau bahkan "nabi" baru.

Mereka menganggap agamanya paling sempurna, paling benar, dan paling direstui Allah. Padahal sudah jelas ditulis di kitab-kitab suci mereka sendiri, Allah  hanya menciptakan manusia yang paling sempurna, bukan agama yang sempurna!

Cinta Agama

Agama bak wanita cantik nan seksi, dan seorang lelaki jatuh cinta ingin memilikinya bahkan menguasainya, bila ada yang memandang atau bahkan menyenggolnya, dianggap menghina, maka orang tersebut layak dimusuhi. Mereka hanya boleh memujinya saja. Katanya, "Agama kami mengatasi segala masalah!"

Memeluk agama itu seperti cinta pertama, berjuta rasanya, mampu membuat mabok berat tanpa perlu minum miras atau narkoba. Bila agamanya disinggung, keluarlah luapan emosinya bak semburan lumpur Lapindo menggerus indera dan rapat membungkus rasio umatnya.

Apakah karena secara psikologis masing-masing umat beragama di masyarakat kita ini jarang berinteraksi dengan toleran dan bijaksana?

Kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi menjadi akar permasalahan karena yang terjadi tidak dialokasikan secara merata, timbullah kecurigaan-kecurigaan yang akan selalu mengancam keutuhan kekeluargaan berbangsa ini. Akibatnya apa Bro, masyarakat dengan sangat mudah mengidenttifikasikan dengan segala bertentangan berbau SARA. Begitulah bangsa kita belum benar-benar mengintegrasikan diri secara psikologis. Secara fisik kita bertetangga dengan orang yang berbeda agama dan suku bangsa, tetapi setiap hari kita selalu was-was dengan tingkah lakunya, walau sang tetangga tidak melakukan aktivitas yang membahayakan kita.

damai-2-57b4b2c0c122bdee1fa1cba0.jpg
damai-2-57b4b2c0c122bdee1fa1cba0.jpg
                                                                                       

Toleransi Di Alam Kemerdekaan

Manusia itu selalu ada sisi baik dan buruk, lepas dari suku dan agamanya, tinggal yang menonjol sisi mananya. Bicara tentang TOLERANSI BERAGAMA di Indonesia ini masih terjadi pro dan kontra, masing-masing umat mencari kebenarannya sendiri, minoritas dan mayoritas jadi bahan yang selalu mengiringi tema tersebut.

Di alam kemerdekaan ini toleransi di Indonesia menjadi isu yang tak pernah habis diberitakan, dibilang toleransinya kurang baik, faktanya umat beragama saling menghargai. Dibilang toleransinya sudah baik, masih terjadi pembakaran atau pelarangan tempat ibadah. Ini salah pemimpin agamanya atau salah pemimpin negaranya? 

Padahal semua pemimpin itu santun-santun dalam berkarya, tentu bisa diharapkan menjadi ujung tombak toleransi benar, benar tanpa ada satu pun konflik terjadi, sebab konflik antar umat beragama itu tidak menguntungkan dalam kehidupan ini.

Beberapa waktu lalu ada tokoh yang mengatakan pemerkosa gadis kecil Yuyun karena mabok miras, dan miras pun dijadikan kambing hitam, ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah yang tidak melarang peredaran miras. Ada juga yang mengatakan bahwa teroris di Indonesia itu beragama Islam, maka Agama Islam dijadikan kambing hitam, apakah pemerintah harus melarang peredaran agama Islam di Indonesia?

Kenapa kita lebih suka menyalahkan daripada mengkoreksi diri sendiri? Bukankah lebih baik introspeksi melihat setiap kasus dengan kepala jernih dan mencarikan solusinya agar bisa meminimalisir kejadian serupa tidak terulang kembali.

Dan toleransi beragama adalah kunci solusi untuk kemajuan bangsa dan negara ini agar lebih cepat melesat menjadi negara maju, modern, dengan penduduknya yang beradab bukan sebaliknya menjadi biadab hanya karena perbedaan Suku, Agama, atau Partai.

Kejam Tapi Toleran

Santun tapi kejam, kejam tapi tak terlihat, umat beragama rukun tapi menyimpan dendam, dendam para tokohnya, rakyat pun dikorbankannya, apakah itu yang akan kita pelihara?

Saya ingat, ada pemimpin kejam bahkan dikenal sangat kejam, namun toleransinya terhadap umat beragama nyata tanpa ada konflik didalamnya.

Siapa belum tahu kehebatan kaisar Mongol Kubilai Khan? Cucu Jenghis Khan tokoh abad ke-13 yang legendaris itu?

Kubilai Khan dikenal memiliki toleransi yang sangat tinggi. Dia menjadi tokoh pemimpin dunia pertama yang menyatakan hari-hari besar agama Budha, Kristen, Yahudi, dan Islam dijadikan hari libur resmi kenegaraan, sebab wilayah kekuasaannya sangat luas sampai seluruh Cina, Korea, Burma, Vietnam, dan Kamboja. Pasukan Mongolia pernah melakukan agresi militer ke Jepang dan Jawa (Kerajaan Singasari), namun tidak berhasil. Dalam hal libur resmi kenegaraan yang terkait dengan hari-hari besar Agama, Indonesia sudah mencontohnya, dan itu memang salah satu point penting bagi nilai toleransi di Indonesia.

Sejarah dunia mencatat bahwa Mongolia adalah satu-satunya negara yang kekuasaannya mendekati dominasi atas seluruh dunia (global domination). Kekuasaannya waktu itu adalah: China, Mongolia, Russia, Korea, Vietnam, Burma, Kamboja, Timur Tengah, Polandia, Hungaria, Arab Utara, dan India Utara. 

Jadi tidak semua orang bermata sipit itu Cina, tapi bisa jadi keturunan Mongolia, namun yang terjadi di Indonesia kaum gagal belajar sejarah itu menuding orang Cina bila ada yang dianggapnya tidak sejalan dengan ideologinya. Keturunan mongol memang sudah lama ada di Indonesia dan beranak-pinak hingga sekarang, selain dari Yunan. Artinya tidak semua manusia itu kejam dalam arti suka membunuh, atau tidak mempunyai toleransi yang tinggi terhadap keberagaman umat beragamanya. Kubilai Khan sangat menghargai umat beragama, tidak memihak dan tidak melarang mereka mendirikan tempat ibadahnya.

Catatan Buram Manusia 

Pada dasarnya manusia itu lemah, terlalu egois demi menumpahkan darah, mengutuk sesama manusia, mengutuk kehidupan, bahkan mengutuk apa saja yang tidak sesuai dengan egoismenya. Manusia akan terus berteriak demi moralitas yang luhur dan mulia, namun sering lupa diri untuk mempraktikkan apa itu sifat luhur dan mulia. Benarkah zaman semakin maju menuju lembah gelap di ujung jalan dalam abad yang penuh krisis moral ini?

Catatan buram sejarah manusia akan terus tertulis sebagai wilayah tingkah laku yang sengaja maupun tidak sengaja sebagai hasrat akan keberadaan sebagai fakta historis. Sementara penyebab metafisisnya atau validasi objektifnya kadang tidak menjadi perhatiannya.

Meskipun ide tentang Tuhan dan pengalaman religius yang diimplikasikan muncul dari zaman yang sangat jauh, hal tersebut dapat dan telah digantikan berulang kali oleh "bentuk" religius yang kita sebut agama itu. Sejak itulah manusia mulai meninggalkan cakrawala arketipe dan pengulangan tidak lagi dapat mempertahankan dirinya sendiri kecuali ide tentang ALLAH dalam Agama yang dibuatnya, hanya untuk mengasumsikan eksistensi Tuhan sebagai "pentasbihan".

Lalu kenapa manusia beragama sering lupa diri akan kebersamaan sebagai manusia? Mereka lebih merasa menjadi manusia ketika menolong orang yang sama daripada orang yang tidak dikenalnya. Begitulah yang sering terjadi, manusia masih lebih mementingkan egoismenya daripada perintah Allah yang sebenarnya.

Media Hantu

Beruntunglah kita yang tinggal di Indonesia yang mempunyai Pancasila sebagai dasar negara kita, walau era media sosial sudah menggurita dan menelan waktu kita di setiap harinya, bahkan bisa membuat kecemasan atau ketakutan yang over dosis, bisa juga membuat suatu penyakit, paranoid, yang membuat hidup sangat tak nyaman dan masalah menjadi makin kompleks, namun sendi-sendi kerukunan masih bisa terjalin erat dengan perekat dari sila-sila Pancasila yang mestinya kita bangkitkan kembali, hayati, dan terapkan dalam kehidupan yang semakin modern ini.

Media sosial bisa jadi media hantu yang bisa membuat orang terganggu, cemas, dan takut apalagi bila menghadapi bullying dari netizen yang sering tak jelas identitasnya itu, bak hantu yang siap meneror 24 jam kepada siapa saja, dan kita akan terganggu bila tak mampu mengatasi kecemasan dan ketakutan menghadapi hantu bullying itu.

William S. Burroughs seorang novelis dan satiris pernah menuliskan : "Seorang paranoid adalah seseorang yang mengetahui sedikit dari apa-apa yang tengah terjadi,"

Itulah kenyataan di era cyber ini, media sosial bisa menjadi perantara kebencian atau kecintaan dengan sangat cepatnya, walau informasi yang disampaikan itu tanpa data dan fakta, namun banyak yang menelan dan mempercayainya begitu saja. Itu artinya kita akan menderita karena terpengaruh hantu media dengan modal secuil pemahaman dari suatu gambaran kehidupan nan luas terbentang ini.

Kebiasaan berpikir luas, hati-hati dan teliti akan membuat kita lebih lapang dan nyaman dalam menerima setiap informasi di berbagai media sosial ini. Semuanya akan terasa lebih indah dalam keberagaman yang melekat pada setiap anak bangsa di tanah air kita Indonesia ini. Media hantu yang memberitakan sesuatu yang ingin memprovokasi perbedaan menjadi pertentangan adalah ujian kita dalam bertoleransi, mampukah kita menghadapinya?

Salam Menolong Sesama Itu perintah Allah! 

Link FB dan Twitter  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun