Mohon tunggu...
Tante Paku  A.k.a Stefanus Toni
Tante Paku A.k.a Stefanus Toni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Membaca dan menulis hanya ingin tahu kebodohanku sendiri. Karena semakin banyak membaca, akan terlihat betapa masih bodohnya aku ini. Dengan menulis aku bisa sedikit mengurangi beban itu. Salam, i love you full.....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tak Ada Damai Di Antara Kita Sampai…

18 September 2010   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:09 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://lh4.ggpht.com/dutadamai/Ru8vPmIqkeI/AAAAAAAAAG0/dqJm0adTo0k/STICKER.jpg%26imgmax%3D640

Usia tua adalah suatu peringatan kita sebentar lagi takkan mampu untuk melakukan hal yang paling kecil sekalipun. Abiyasa menyadari hal itu, walaupun secara fisik ia sehat, namun sehat belum berarti dirinya sehat, yang terutama adalah bagaimana semestinya menjaga jiwa kita sehat. Selama dalam kepemimpinannya, Astina mengalami kemajuan yang sangat pesat, negara dalam keadaan tata tentrem kertaraharja gemah ripah loh jinawi, tapi untuk memimpin terus jelas ia tak mampu, walau rakyat masih menghendakinya. Namun ia sudah tegaskan jauh sebelumnya bahwa Astina tak akan ia pimpin selamanya. Ia tidak ingin selama hidupnya ingin dipuji dan dipuja, karena kalau ada yang demikian adalah orang yang hidup dalam angan-angan. "Saya sudah cape mikirin negara melulu!" keluhnya suatu kali. "Sisa hidup ini akan kumanfaatkan untuk rileks, untuk santai sajalah." "Lalu siapa kira-kira yang pantas menggantikan bapak memimpin negara?" tanya salah satu bawahannya. Abiayasa terdiam. Merenung. Problem inilah yang menggelayuti pikirannya setiap malam. Soal suksesi di Astina kalau tidak hati-hati bisa jadi suksesial. Lantas siapa kira-kira yang pantas menggantikan dirinya? Di Astina sistemnya lain, kemungkinan konstitusional sangat terbatas. Yang boleh mencalonkan harus keturunannya, dalam hal ini ketiga putranyalah yang sama-sama berpeluang. Sayangnya, ketiga putranya mempunyai cacat politik ! Anak tertua Drestarata sekolahnya amburadul, bagaimana bisa diharapkan baik untuk memimpin negara? Sudah sekolahnya bego bin gebleg, setiap naik kelas harus pindah sekolah, sukanya pil koplo, dikasih modal buat bisnis ya bangkrut melulu, bagaimana kalau jadi pemimpin Astina? Sedangkan Pandhu, anak berikutnya, dia memang baik tapi semua sudah tahu kalau Pandhu itu suka berpetualang, naik turun gunung, aktif di kepramukaan dan enggan belajar ilmu ketatanegaraan, apa bisa memimpin negara? Si anak bungsu Yamawidura, semakin kurang menarik untuk dijadikan pemimpin bangsa dan negara. Jelas rakyat tidak akan bangga mempunyai pemimpin yang kakinya pincang karena kepleset waktu mau nubruk cewek. Pemimpin demikian jelas tidak membanggakan rakyatnya dong. Lalu siapa sih yang kira-kira pantas? "Setelah saya pikir-pikir dari ketiga anakku, hanya Pandhu yang cukup pantas untuk memimpin Astina!" kesimpulan ini bisa jadi keputusan hasil daripada suksesi di Astina. KEPUTUSAN Begawan Abiyasa memilih Pandhu sebagai pendirinya bukannya tidak mendapat reaksi keras. Reaksi paling keras justru datang dari Drestarasta, ia tidak terima dengan keputusan tersebut. Bayangkan, secara kuantitatif, ia lebih unggul dibandingkan Pandhu. Kekuatannya lebih dari si Pandhu, anaknya saja ada 100 (seratus) dan semuanya bernyali PREMAN. Bayangkan kekuatannya, tapi mengapa bukan dirinya yang dipilih memimpin Astina? Ini jelas tidak fair !! "Kok kayak gitu caranya suksesi, itu namanya pilih kasih!" umpat Dresta jengkel. "Sabar paduka," hibur penasihatnya yaitu Dorna. "Si Pandhu tidak bakalan bertahta lama. Ia pasti sering berpergian ke puncak-puncak gunung. Bukankah ia ingin ke puncak Himalaya untuk menancapkan bendera Astina? Nah itulah kesempatan paduka untuk bertindak." Mendengar itu, giranglah Drestarasta, peluang memang selalu ada bagi mereka yang bersabar. Dan benarlah prediksi Dorna, Pandhu lebih suka meninggalkan tahta dan pergi menuruti hobinya. Begawan Abiyasa jelas dibuat puyeng. Suksesi yang mulus, sekarang apa harus suksesi lagi? Tapi karena rakyat menghendaki, apa boleh buat, terpaksa deh si Drestarasta menjadi pilihan terakhir. Setelah naik tahta, bukannya Astina tambah makmur, tetapi menuju keruntuhan. Lebih-lebih Drestarasta dikuasai penuh oleh mereka yang bernafsu serakah, seperti Dorna, Sengkuni dan masih banyak lagi. Jelas pemerintahannya sangat otoriter serta urakan. Drestarasta akhirnya stres juga, setelah tiap hari ada saja demontrasi rakyatnya ke istana negara maupun ke gedung parlemen. Laporan tentang tindakan sewenang-wenang para pengusaha, pejabat atau oknum-oknum Astina yang berseragam silih berganti mengisi hari-harinya. Ini sungguh bertentangan dengan kemajuan yang telah dicapai Astina, dimana sumber daya dan bahan mentah berkelimpahan, kontribusi pengetahuan tak terbatas, program pendidikan meningkat jauh, kini Astina diguncangkan menuju kekacauan. Drestarasta akhirnya sadar, tindakannya banyak diperalat oleh orang-orang licik disekelilingnya, baik penasihatnya maupun para mentrinya. Untuk tidak terlibat kemunafikan lebih jauh, ia memutuskan pensiun lebih awal ! "Saya akan menyusul babe ke villa Saptarengga saja deh !  Pusing aku ngurusin negara. Semua pejabat maunya pengin cepat kaya, para pengusaha maunya minta fasilitas saja, belum anak-anaknya sukanya foya-foya tak karuan. Rakyatku juga pilih sibuk demontrasi tiap hari, mintanya kemiskinan segera diatasi. Jujur saja, saya nggak mampu melakukan semua itu. Lebih-lebih para pembantuku banyak  yang tidak sinkron dengan statemennya, apa nggak menambah puyeng kepalaku?" demikian unek-unek panjang dilontarkan Drestarasta di hadapan para pembantu dekatnya. "Sudahlah terserah kalian! Siapa yang akan menggantikan diriku memimpin Astina, aku setuju saja. Aku mau pensiun saja!!" keputusan yang tak bisa dicegah lagi. Astina ribut suksesi lagi. Suksesi memang selalu penuh konflik. Astina kini diperebutkan oleh anak-anak Drestarasta dan anak-anak Pandhu. Keduanya merasa berhak untuk memerintah Astina. Ini jelas gejala suksesi sukar disuksesken! Perang saudara seperti tinggal tunggu tanggal mainnya. Astina yang rupanya masih menganut sistem feodal itu, pasti gontok-gontokan seru. Adik melawan kakak, mertua melawan besan, menantu melawan ipar, pak lik melawan pak de, semuanya bermusuhan dengan landasan KEKELUARGAAN !! BEGAWAN Abiyasa yang ayem tentrem di villa nan sejuk Saptarengga Permai, tiba-tiba dikejutkan dengan datangnya puluhan wartawan dari Astina. "Ada apa ini? Aku tidak punya isyu berita lho?" kata Abiyasa mengerutkan kening. "Sepeninggal bapak Begawan, rasanya Astina mengalami kekisruhan dalam suksesi. Apa hal tersebut sudah bapak ketahui?" tanya wartawan hampir berbareng. Begawan Abiyasa terkekeh, para wartawan kaget. Apanya yang lucu? "Saudara-saudara wartawan, memang saya sudah dapat meramalkan suksesi itu bakal tidak mulus. Ini karena saya sering berdialog dengan ROHUL KUDUS. Sejarah sudah mencatat, kemauan penguasa untuk melestariken kekuasaannya setelah dia sendiri pensiun, adalah seperti saya ini contohnya. Seandainya saya tidak membatasi suksesi di Astina kepada anak sendiri, dan tidak campur tangan di belakang kekuasaan, mungkin tidak bakal terjadi perang hebat. Andaikata saya rela pengsiun secara serius, dan rakyat Astina dikasih kesempatan untuk memilih pengganti secara bebas, barangkali yang mimpin Astina bukan dari keluargaku." "Nepotisme dalam suksesi?" tanya wartawan lagi. "Betul nak. Tut Wuri Handayani kata kolega saya. Asas musyawarah untuk mufakat, begitu kata modernnya." jawab Begawan Abiyasa tersenyum. "Lantas, perang Baratayudha apa bisa dihindari?" sahut wartawan yang merasa perang saudara di Astina tak lama lagi terjadi. "Wah itu sudah nubutan PAKEM ! Mata hati kita sudah dirusak oleh sifat mementingkan diri sendiri, keserakahan, pikiran busuk dan hidup yang jahat. Dan perang dianggapnya penyelesaian yang terbaik. Padahal, tak ada damai di antara bangsa-bangsa sampai ada damai di antara kita. TAK ADA DAMAI DI ANTARA KITA SAMPAI KITA BERDAMAI DENGAN DIRI KITA. Sang Pengkhotbah mengatakan "Ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci, ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai, Sudahlah, mari kita memikirkan damai dengan HIDUP YANG DAMAI."

http://lh4.ggpht.com/dutadamai/Ru8vPmIqkeI/AAAAAAAAAG0/dqJm0adTo0k/STICKER.jpg%26imgmax%3D640
http://lh4.ggpht.com/dutadamai/Ru8vPmIqkeI/AAAAAAAAAG0/dqJm0adTo0k/STICKER.jpg%26imgmax%3D640
Illustrasi : breadwine.blogspot.com, foto-foto.com, shaverdefrauds.blogspot.com dutadamai.wordpress.com, wayang.wordpress.com, adekrawie.wordpress.com, pustakaimamsyafii.com, mutinyvanguard.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun