Mohon tunggu...
Tante Paku  A.k.a Stefanus Toni
Tante Paku A.k.a Stefanus Toni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Membaca dan menulis hanya ingin tahu kebodohanku sendiri. Karena semakin banyak membaca, akan terlihat betapa masih bodohnya aku ini. Dengan menulis aku bisa sedikit mengurangi beban itu. Salam, i love you full.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hakim yang Bisa Mengadili dengan Jujur

8 Agustus 2010   05:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:13 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dog....dog...dog...crek...crek...creek...!  Langit kelap-kelap katon, bumi gonjing-ganjing kayak Kucing kawin,  blencong dihidupkan, layar dikembangkan, Wayang Mbeling Kompasiana siap dimainkan di tengah pasar yang hiruk pikuk ini. Dog dog crek gung ning nang ning gung, ning nang ning gunggg.......! Astina tengah menghadapi problem yang cukup rumit. Pasalnya semua warga Astina melakukan demontrasi besar-besaran menentang kelakuan semua pejabatnya yang sudah lepas kendali. Para pejabat Astina, selagi punya kekuasaan menggunakan aji mumpung, korupsi, manipulasi, KKN ,selingkuh dan perbuatan lainnya yang tidak menyenangkan hati rakyatnya, dilakukan dengan membabi-buta. Unjuk rasa itu semakin hari semakin panas. Pentungan dan gas airmata tak mampu membubarkan mereka. Justru mereka semakin nekat melakukan perlawanan. Kejadian tersebut membuat hati penguasa Astina yaitu Prabu Duryudana pusing bukan main. Apalagi para pengunjukrasa minta supaya pejabat-pejabat Astina yang curang, seperti Dursasana, Harya Sengkuni, Citraksi, supaya dipecat! Kebanyakan dari pejabat yang terlibat itu dari keturunan Kurawa. Padahal marga Kurawa itu masih saudara dari Prabu Duryudana. Inilah yang membuat beliau pusing tujuh keliling kali tujuh keliling! Lebih-lebih Sang Prabu mendapat laporan ajudannya bahwa sang istri yakni Dewi Banowati dan putrinya Dewi Lesmanawati telah menghilang dari istana.

"Bagaimana jalan keluar menghadapi kemelut seperti ini bapa penasihat?" tanya sang Prabu kepada Durna, penasihatnya. "Sabarlah nak Prabu, jangan-jangan semua ini karena hasutan Pandawa," mulailah jurus mencari kambing hitam dilontarkan sang penasihat. "Mengapa kita selalu mencurigai Pandawa bapa? Bukankah Pandawa itu orangnya baik?" Durna tertawa ngakak. "Siapa lagi kalau bukan Pandawa yang menghasut para rakyat Astina? Bukankah mereka musuh besar kita? Dan siapa tahu yang menculik istri paduka adalah Arjuna, karena Arjuna masih cinta kepada Dewi Banowati, istri paduka? Sedangkan Dewi Lesmanawati, tentu yang menculik adalah Abimanyu, karena sudah lama Abimanyu ingin mempersuntingnya? Memang bapak dan anak itu sama-sama play boynya!" Prabu Duryudana termenung. Suasana di luar Istana semakin gaduh. Pejabat-pejabat yang bersangkutan dengan kemelut itu bingung mencari perlindungan. Kenekatan rakyat Astina yang unjuk rasa itu semakin berani. Mereka kini mulai memasuki Istana. Untunglah rakyat Astina yang demontrasi itu tidak membawa-bawa Agama dalam jargonnya, sehingga tidak membingungkan para pengamat. Melihat itu Prabu Duryudana kebingungan. Apalagi Durna, mau lari jalan keluar sudah buntu, dipenuhi para demonstran. Bahkan para pejabat yang mereka benci pun sudah pada tertangkap dan langsung dibawa kehadapan Prabu Duryudana untuk diadili, karena perbuatannya yang banyak merugikan rakyat. Tapi Prabu Duryudana kesulitan untuk mencari hakim yang benar-benar qualified. Hakim yang ada sudah banyak kena kasus suap sampai main perempuan sundal. Siapa lagi hakim yang bisa mengadili mereka? Yang jujur dan track recordnya tidak tercela. Di saat yang genting itu, tiba-tiba muncullah Dewi Banowati dan Dewi Lesmanawati menggandeng Prabu Puntadewa, dengan anggun mereka melangkah ke ruang sidang. "Inilah yang menjadi hakimnya. Semoga semuanya setuju," kata Dewi Dewi itu dengan tenang. "Setuju!! Setuju!!!" teriak pengunjung sidang dengan gaduhnya.

http://i154.photobucket.com/albums/s252/chronotime/Puntadewa_Normal2.png
http://i154.photobucket.com/albums/s252/chronotime/Puntadewa_Normal2.png
Tentu saja semua setuju pada siapa yang ditunjuk mengadili para tertuduh itu, yaitu Prabu Puntadewa yang terkenal  jujur, lega-lila lahir batin,temen, lantip, getih putih tanpa nafsu dan sebagainya. Beliau juga selalu sukses menyelenggarakan seminar-seminar tentang contemp of court. "Maaf seribu kali maaf, sebenarnya saya keberatan untuk diminta menjadi hakim. Sebab saya khawatir dianggap ikut mencampuri urusan dalam negri Astina. Tapi karena terdorong ingin membantu ketenangan dan ketentraman Astina, maka tugas berat ini saya jalankan atas permintaan Dewi Banowati dan Dewi Lesmanawati serta persetujuan kalian semua." Para terdakwa, Dursasana, Citraksi, Sengkuni dan beberapa lagi, saling bertatap. Kemudian hakim Prabu Puntadewa mulai berbicara. "Antara penguasa dan rakyat itu ibarat ikan dan air, keduanya tidak bisa dipisahkan. Seorang penguasa itu tidak boleh bertindak sewenang-wenang, suka menindas dan melukai hati rakyat. Sedangkan sebagai rakyat jangan suka manja, banyak menuntut, tapi malas bekerja.  Maaf,  tidak mengurangi rasa hormat,  di Astina kepincangan-kepincangan ini sudah lama banyak terjadi. Banyak orang yang punya kekuasaan tidak bisa mengendalikan diri karena merasa lebih kuat, sehingga banyak rakyat menjadi tertekan dan terjajah. Inilah yang menjadi sumber kekacauan dan kericuhan yang tak kunjung selesai." Para rakyat yang ada di dalam ruang sidang itu diam. Suasana hening. Sedang para tertuduh menundukkan muka, kata-kata yang diucapkan Prabu Puntadewa walaupun pelan namun mampu membuka hati mereka. Yang semula gelap menjadi terang. "Kalau para tertuduh ini diadili, hukumannya akan sangat berat. Bisa dihukum mati atau paling ringan hukuman seumur hidup, karena telah merenggut hak dan kehormatan rakyat kecil yang tidak berdaya," "Kalau kalian minta mereka dihukum mati, akan habislah keturunan Kurawa. Aku bukan Tuhan Sang Dewata Agung, yang bisa menghabiskan keturunan Adam dengan air bah dan menunjuk Nuh untuk melanjutkan keturunan manusia cipataanNya. Saya selaku hakim yang kalian tunjuk tidak akan menjatuhkan hukuman pada mereka!" Kalimat tersebut memicu kegaduhan pengunjung sidang, ketidakpuasan jelas tampak pada wajah-wajah mereka. "Apakah dengan membebaskan mereka, akan tumbuh kesadaran moral? Mereka harus dihukum sebagai bentuk penyadaran!" protes salah satu pengunjung dengan keras. "Ingatlah saudara-saudara,  Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Allah yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Allah juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." Mendengar suara Prabu Puntadewa  yang bersuara tenang namun jelas berwibawa itu, semua pengunjung terdiam, saling berpandangan, menundukkan kepala. Tidak ada lagi yang bertanya dengan nada protes. "jangan kau ulangi perbuatan-perbuatanmu dahulu. Lindungilah para rakyat kecil. Cintailah mereka, seperti para Nabi yang mengasihi semua tanpa pandang bulu," sang Hakim menasihati para terdakwa yang terdiam, bahkan menitikkan air mata. Dog-dog-dog .....crekk!!  Ning nang ning nong ning nang ning ning ning nang ning gung.......!!  Layar ditutup, blencong ditiup, Sutradalang mohon pamit, sampai jumpa dalam cerita  berikutnya.

Illustrasi :  hafismuaddab.wordpress.com,lemmasoft.renai.us, koranjitu.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun