Mohon tunggu...
Tante Paku  A.k.a Stefanus Toni
Tante Paku A.k.a Stefanus Toni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Membaca dan menulis hanya ingin tahu kebodohanku sendiri. Karena semakin banyak membaca, akan terlihat betapa masih bodohnya aku ini. Dengan menulis aku bisa sedikit mengurangi beban itu. Salam, i love you full.....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Benarkah Anak Tidak Sopan, Rejeki Jauh, Jodoh Seret? (3)

3 Oktober 2014   02:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:35 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesel juga kalau lagi asyik ngompasiana eh si ERROR lewat, tampilannya ngaco belo, spasi DUMPYUK, di edit berulangkali tetap nihil, padahal lagi semangat-semangatnya membaca kisah sahabat tuaku ini. Kemarin beliau sudah saya beritahu kalau tulisannya di buku bekas itu saya unggah ke sini. Ia tersenyum dan mengangguk. "Ah kamu membuatku membaca ulang kisah lamaku." "Belum tertarik membuat akun di sini pak?" "Saya belum terbiasa, tapi tak nyoba baca-baca dulu saja. Kompasiana itu situs yang rame ya?" saya mengangguk. "Tapi sering error pak, jadi bikin repot juga," sambungku. "Maaf, tulisan bapak sangat panjang, jadi saya bikin bersambung dan judulnya saya gonta-ganti sesuai episodenya. "Ha ha ha ha ha ha ha......terserahmulah, saya sudah tua untuk memikirkan judulnya."

Benarkah Anak Tidak Sopan, Rejeki Jauh, Jodoh Seret?

By Purnomo

Apakah bila dua orang berasal dari satu etnis tidak akan muncul perbedaan? Belum tentu. Budaya setempat atau pola pikir masyarakat di mana ia tinggal, bisa merubah sebuah adat istiadat yang pernah diakrabinya walaupun tidak terlalu signifikan. Setiap tahun kami berempat pulang ke Jawa untuk berlibur selama 14 hari. Tahun itu pada waktu kami berada di kota kelahiran kebetulan ada seorang famili istri punya gawe menikahkan anaknya. Kami diundang untuk datang di malam widodaren sekalian reuni keluarga. Saya terkejut ketika sampai di gedung pertemuan itu. Yang hadir sekitar 200 orang. Saya dikenalkan dengan banyak orang dan diberitahu bagaimana memanggil mereka. Dalam tradisi Jawa sebutan yang menunjukkan posisi seseorang dalam keluarga terhadap kita tidak sulit. Saudara tua ortu kita panggil Pakde dan Bude. Sedangkan saudara muda ortu kita panggil Paklik atau Bulik. Tidak demikian dalam adat Tionghwa. Seorang dosen mencolek saya. “Hayo, masih ingat kamu harus memanggil aku apa?” tanyanya menggoda melihat saya bingung. Ibunya punya adik lelaki yang adalah ayah mertua perempuan saya. Biasanya kami hanya saling menyebut nama tanpa embel-embel. “Embuh,” jawab saya. Putri bungsu saya menarik-narik tangan saya. Wajahnya keruh. “Baru saja diberitahu, sudah lupa harus memanggil apa. Piye to kamu ini?” begitu ia ditegur berulang kali karena ia tetap saja ber-Oom dan ber-Tante. Saya membawa kedua puteri saya ke sudut gedung memisahkan diri. Lalu kami berbincang-bincang sendiri dan asyik bergurau. Seorang encim tua dalam pakaian kebaya berjalan mendekati tempat duduk kami. Ah, pasti ia mau memanggil kami untuk makan. Kami terkejut ketika ia sudah di depan kami jarinya menunjuk-nunjuk si bungsu sambil memarahinya dalam nada tinggi. Apa yang membuatnya marah? Ia melihat si bungsu yang masih SD itu berdiri di atas kursi untuk mengobrak-abrik rambut saya yang merupakan kesukaannya untuk mengungkapkan rasa jengkel sekaligus sayangnya kepada saya. “Anak tidak sopan! Kamu harus ingat, anak itu tidak boleh memegang kepala bapaknya. Itu kurangajar. Kamu bisa kuwalat. Rejeki jauh, jodoh seret!” Kami bertiga membeku. Saya tidak suka melihat sikapnya itu. Saya terpaksa diam karena ia termasuk sesepuh keluarga besar ini. Ketika ia berjalan meninggalkan kami, puteri sulung saya yang sudah SMA berdiri. “Nenek ini perlu dihajar,” katanya sewot. “Bapak-bapaknya sendiri apa urusan dengan dia. Apa hak dia memarahi adik? Biar aku beritahu dia siapa yang sebetulnya kurangajar.” Wah gawat, cewek Medan tensinya naik. Tangannya saya tarik sehingga ia terduduk kembali. Saya menoleh si bungsu. Wajahnya pucat. “Sekarang kita berada di kuil Siauw Liem Sie yang tidak kita akrabi tata kramanya. Sudahlah, anggap saja nenek itu sudah pikun sehingga dia mengira kita ini anak-cucunya sendiri,” saya mencoba menghibur mereka. Catatan sebelumnya :1. Si Tua yang Menulis Catatan di Buku Bekas (1) 2. Luka Karena Cinta Adalah Luka yang Paling Nikmat (2) Sumber gambar : hendrikeagle.blogspot.com, www.antaranews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun