Mohon tunggu...
Hasbi Zainuddin
Hasbi Zainuddin Mohon Tunggu... profesional -

Sedang menjalani rutinitas sebagai jurnalis. dan selalu berusaha menyajikan berita yang mencerahkan dan mencerdaskan. Setidaknya, melanjutkan tradisi para nabi dan rasul yang dijuluki "pembawa kabar gembira."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyinggung Etika dan Hukum (4-selesai)

11 Agustus 2013   10:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:26 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wujudkan Pengadilan Etika di Negara yang Plural

Keberagaman mazhab, sekte, dan agama membuat lahirnya standar etika yang beragam di negara bernama Indonesia ini. Tapi yakinlah, masing-masing memiliki kesamaan pada titik tertentu, untuk melakukan positivisasi etika.


Mengejawantahkan nilai-nilai etika ke dalam sebuah aturan mengikat sebetulnya bukan hal yang baru. Etika yang saya maksudkan, tentunya adalah nilai-nilai yang bersumber dari hal-hal metafisik: firman tuhan, wahyu, ilham, kitab suci, dst. Sistem pemerintahan berdasarkan etika yang berasal dari firman Tuhan misalnya, diterapkan di masa Nabi Muhammad Saw. Saat ini, positivisasi etika berdasarkan Syariat Islam itu juga diterapkan oleh Republik Islam Iran, dengan mengangkat seorang pemimpin agama, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sebuah Negara (Imamah).

Ada Syeikh Muhammad Taqiyuddin An Nabhani, yang menelurkan partai Islam Hizbut Tahrir, sebagai upaya mendorong terwujudnya pemerintahan yang khilafah, dengan berlandaskan syariah. Saya tidak berarti mendorong untuk mencontohi Pemerintahan Iran, dan gagasan pemrakarsa Hizbut Tahrir itu.

Satu-satunya pemerintahan yang pernah menjalankan prinsip etika dengan prinsip syariat islam dengan sempurna, menurut saya, adalah pemerintahan Nabi Muhammad Saw. Mungkin hanya Muhammad-lah, satu-satunya Nabi di antara para Nabi yang berperan lebih dari sekadar pemimpin spiritual (agama). Tapi juga pemimpin Negara, yang mewujudkan pemerintahan yang adil dan rakyat yang sejahtera. Dia menepis asumsi kalangan sekularisme, bahwa agama tidak bisa ikut campur dalam urusan pemerintahan dan mengatur-atur rakyat.

Kita memang hampir sulit menemukan formulasi yang tepat untuk mewujudkan Negara berbasis syariah itu seperti di masa nabi. Para ulama dan cendekiawan muslim di Indonesia, hingga dua ormas besar islam di negeri ini, NU-Muhammadiyah, malah menolak gagasan khilafah itu.

Lebih dari 60 tahun lalu, Taqiyuddin An Nabhani yang mendirikan Hizbut Tahrir, merumuskan formulasi pemerintah khilafah yang falsafahnya digali dari nas-nas syara’, sirah dan sunnah Rasulullah SAW.

Meskipun, cita-cita Taqiyuddin tak seperti cita-cita Sayyid Ayatollah Ruhollah Khomeini, tokoh revolusioner Iran, yang berhasil menjadi pemimpin Agung sekaligus Imam Republik Islam Iran.

Gagasan Taqiyuddin dengan Imam Khomeini soal syariah islam memang berbeda. Imam Khomeini melakukan revolusi, dengan mengembalikan sistem pemerintahan itu, seperti pada masa Nabi Muhammad. Seperti halnya ideologi Syiah, dia menginginkan sebuah pemerintahan yang tetap dipimpin oleh seorang imam dari keturunan keluarga Rasulullah (ahlul bayt).

Sementara, Taqiyuddin menginginkan kembalinya pemerintahan itu seperti pada masa khilafah, tepatnya di masa khalifah Usmaniyah. Dengan gagasan khilafah itu, dia mengeritik dan menyerang Negara-negara arab yang teramat dalam berkompromi dengan orang-orang barat, yang kapitalis.

Ide kedua tokoh ini tentang syariat Islam memang kurang diterima oleh masyarakat positivistik, yang sudah telanjur yakin dan percaya sistem demokrasi dengan hukum positif itu, sebagai sesuatu yang mutlak. Syariat Islam dianggap tidak relevan oleh masyarakat yang mengacu pada rasionalitas, dan keterandalan logika.

Bahwa wahyu, ilham, dan segala nash yang bersumber dari kitab Suci, AlQur’an, yang selanjutnya menjadi ajaran moral dan etika, cukup disampaikan di pengajian-pengajian saja. Di majelis taklim, khotbah jumat, di masjid, dll.

Jimly Asshiddieqy, menjelaskan istilah Syariat Islam yang tidak perlu lagi digunakan saat ini. Karena, menurut dia, “Syariah” adalah istilah yang memang hanya ada pada masa Nabi Muhammad Saw. Syariah adalah sebutan AlQur’an dan Hadits Nabi, yang diberlakukan secara langsung pada masa Nabi. Quote of law! Karena isi dan makna yang diajarkan AlQur’an dan Hadits, sangat relevan dengan masyarakat Arab saat itu.

Contohnya, ayat tentang melarang salat saat sedang mabuk (QS An Nisa 43), diturunkan karena salah seorang sahabat Nabi, memimpin salat berjamaah sementara dia mabuk habis meminum khamar. Lalu setelah masyarakat arab terbiasa tidak mabuk, turunlah ayat yang secara totalitas melarang minum khamar (Al Baqarah 35).

Era syariah itu dengan sendirinya berakhir, sejak AlQur’an selesai diturunkan, dan Rasulullah wafat. Dengan demikian, sejak itu, nilai-nilai AlQur’an dan Hadits bukan lagi “quote of law,” tapi “source of law”. AlQur’an dan Hadits tidak sepenuhnya ditetapkan menjadi aturan saat itu, karena zaman terus berubah, sementara AlQur’an dan Hadits tidak. Maka, kontekstualisasi ajaran-ajaran AlQur’an dan Hadits dilakukan agar nilai etika itu bisa relevan dengan zaman, dengan merumuskan Fiqhi. Aturan hukum yang bersumber dari AlQur’an dan Hadits, juga diberlakukan dengan metode ijma’ (kesepakatan ulama), kias (analogi), nasikh mansukh (pembatalan aturan hukum oleh aturan lain), ijtihad (fatwa ulama), dll.

Lalu, apakah dengan era Fiqhi itu, Sistem dan aturan etika berdasarkan syariat Islam itu bisa diwujudkan?
Jimly Asshiddieqy menceritakan sebuah permasalahan yang timbul di masa Khalifah Harun Ar Rasyid, di mana, metodologi Fiqhi itu melahirkan banyak mazhab dan fatwa ulama yang berbeda-beda. Maka sang Khalifah berniat untuk melakukan unifikasi hukum. Artinya, semua umat islam harus mengikuti satu mazhab hukum saja, yang secara resmi diakui oleh Negara.

Diceritakan, Imam Malik yang hendak ditunjuk untuk menjadi Qadhi (semacam Ketua Mahkamah Agung saat itu), menolak. Dia menolak, karena khalifah menginginkan Mazhab Maliki (mazhabnya imam malik), dijadikan sebagai mazhab resmi Negara, dan semua umat islam harus mengikuti mazhab tersebut. Menurut Imam Malik, jika mazhab yang berlaku hanya Maliki, maka pintu ijtihad menjadi tertutup. Sementara, dia tentu bukanlah orang yang Maksum (sempurna) seperti Nabi, yang mazhab dan fatwanya benar-benar sempurna.

Ya, kompleksitas permasalahan yang dipikirkan Harun Ar Rasyid itu terjadi hingga zaman ini. Saat ini kita tidak hanya melihat banyaknya mazhab, tapi juga paham dan aliran yang jauh berbeda. Tak sekadar pada wilayah Furu’iyah (percabangan Fiqhi), tapi juga sampai pada wilayah fundamental dan esensi syari’ah (ushuliyah).

Tadinya, masyarakat muslim mungkin bisa mentolerir perbedaan furu’iyah, antara NU, Muhammadiyah, ataupun wahabiyah: soal penentuan hilal, qunut, tradisi barazanji, perayaan maulid, wirid usai salat, dst. Saat ini, perbedaan standar etik antara aliran mazhab dan sekte, terjadi hingga pada tingkat ushuliyah, dan membuat kaum yang satu dan lain bertikai, berperang, dan saling mengkafirkan.

Saya sendiri tak bisa membayangkan, runyamnya permasalahan ini ketika semua aliran dan mazhab sama-sama ngotot untuk mendorong standar etik yang mereka perjuangkan diberlakukan di Negara ini. Hizbut Tahrir dengan ide khilafah, Wahabi dengan ide wahabiyah salafiyah, atau Syiah yang mendorong paham Imamiyah-nya, dst.

Sampai di sini, rumusan etika itu memang masih ribet diterapkan, di tengah perbedaan mazhab dan aliran pemikiran sekarang. Namun, kita tetap yakin, positivisasi nilai-nilai etika itu setidaknya sudah bisa diwujudkan, pada tahap awal. Tahap di mana, aturan hingga sanksi sosial itu memiliki kesamaan untuk semua aliran dan mazhab. Kita harus menyambut baik, lahirnya lembaga-lembaga yang melakukan peradilan etika di negeri ini. Aturan-aturan dan kode etik dirumuskan; kode etik jurnalis, hakim, jaksa, dst.
Kita ambil contoh, mantan Bupati Garut, Aceng Fikri, yang sebenarnya lebih merasakan sanksi etik, ketimbang sanksi pidana. Dia dimakzulkan, dicerca masyarakat, dan mendapat sanksi sosial, karena tidak beretika, setelah mengawini Fany Oktora, selama hanya empat hari, dan kemudian diceraikan. DPRD dan MUI menyatakan dia melanggar etika. Meskipun, itu bukan dasar aparat hukum dan pengadilan untuk menjerat dan menjatuhkan vonis 9 bulan penjara. Polisi hanya menjeratnya dengan pasal 310 ayat 1 dan 2 KUHP karena mengeluarkan kata-kata penghinaan terhadap mantan istrinya itu.

Ya, kita berharap, kelak pengadilan etika yang lahir atas tuntunan dan ajaran-ajaran agama, mazhab di Negara ini bisa dilahirkan.

Bulukumba, Minggu 11 Agustus 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun