Bagaimana bisa ku lupa jika pernah ku tuliskan bahwa aku akan merapikan dasimu. Menepuk hangat beban berat di pundakmu.Â
Tapi ku sadar itu hanya semu. Karena ku kira kau tak menginginkanku.Â
Karna kulihat kau dan gadis berambut ikal itu tersenyum dan bercengkrama hangat. Seakan ku tak ada di situ..Â
Ku cemburu tapi ku tak berhak, karena ku bukan siapa-siapa mu.Â
Aku mundur selangkah lalu berlalu. Hingga ku berhasil temukan yang baru. Biduk Bahtera ku pun berlabuh dengannya.Â
Hingga akhirnya kau pun datang padaku, saat pintu hatiku sudah tertutup. Ku tahu cintamu tulus dan luar biasa. Tapi ku tak bisa. Ku tak berdaya mengingkari janji orang dewasa. AKu bukan anak-anak lagi yang bisa datang pergi ke lain hati semau sendiri.Â
Meski kaki ini ingin berlari, badan pun menari karena layangan ini telah mengudara sampai pagi dan lagi.Â
Tapi ku sadar itu semua hanya mimpi yang kau temui. Lantas aku pun tersenyum melepas mimpi itu pergi. Walau berat hati ini.Â
Aku sadar  melepas orang yang kucintai dengan tulus tapi  mau dikata apa lagi. kita adalah tawanan dalam kungkungan pertemanan perempuan dan laki-laki
Sungguh ironi bila kutahu lebih dulu bahwa pilihanku  tak mencintaiku sehebat kamu. Karena ia mencintai sahabatku sendiri. Tapi aku dan dia sudah berjanji untuk terus bersama sampai mati. Janji ini tetaplah janji hingga nafas berhenti.Â
Tapi kau ada di hatiku meski sudah ku tutup. kini terbuka lagi. Ku tutup lagi tapi badai ini sungguh membuat kunci hatiku pergi. susah payah ku cari kayu di hutan untuk jadi palang pintu hatiku kembali.Â
Cukup sudah hatiku ini, janganlah terbuka lagi. Jangan berani untuk main hati. Sungguh itu tidak terpuji. Walau seribu cara bisa ku temukan untuk membuatku pergi. Seribu cara itu ibarat akal tanpa budi.Â