Beberapa minggu yang lalu aku dolan Ke rumah Yu Mis, ibu Anna kakak kelas  SMPku. Setelah sebelumnya kami bertemu di lapangan untuk sholat Id. Rasanya senang sekali bisa kembali sholat Idul Fitri di kampung sendiri setelah 15 tahun tidak sholat di tempat ini. Bertemu dengan sanak saudara, tetangga dan sahabat di masa kecil. Walau hanya sebentar menyapa, belum sempat ngobrol lebih lama untuk melepas rindu.
Saat itu ada pertanyaan menarik bagiku. "Saiki kerja apa baca sekarang kerja apa?
Aku jawab "uwis ora kerja, kerja ning Omah ngurusi anak". Â Sudah tidak bekerja, kerja di rumah mengurus anak
"Lih kerja loro-lorone engko cepet kumpul duite". Golet rewang nggo anake. lah seharusnya kerja dua-duanya nanti cepat kumpul uangnya. Cari pelayan untuk mengurus anak.
"Hehehe itungane bener ya Yu".  perhitungannya benar ya Kak  jawabku sambil terkekeh.
Sebenarnya aku masih ingin melanjutkan  ucapanku waktu itu, tapi karena ucapanku punya potensi untuk membuat percakapan tidak mulus maka aku hentikan dan alihkan ke topik selanjutnya yaitu kabar Anna temanku, lama sekali sudah tidak ketemu.
Saat itu  di dalam hati aku ingin melanjutkan ucapanku begini.
Sewaktu kecil aku sudah berpisah dengan orang tuaku saat usia 6 tahun seperti usia anakku sekarang agar bisa sekolah. Tempat tinggal kami dulu jauh dari sekolah dan kondisi sekolah juga memprihatinkan. Jadi akhirnya aku harus pindah ke rumah nenek dan di asuh oleh nenek kakek juga beserta para paman dan juga bibiku.
Kehangatan keluarga tetap terasa walau berpisah dengan orang tua juga menyesakkan dada. Pasti  di dalam peristiwa perpisahan ini juga memiliki banyak hikmah dan pelajaran yang bisa diambil.
Karena aku pernah merasakan bagaimana sesaknya dada saat berpisah dengan orang tua di usia belia maka aku berusaha untuk berada di sisi anakku pada usia belia mereka, tapi hal itu tidak aku utarakan karena kebetulan mitra tuturku tadi  pernah bekerja di Luar Negeri saat Beben, adik Anna berusia balita. Aku tidak ingin percakapan yang semula hangat menjadi canggung dan dingin karena membuat mitra tuturku merasa bersalah dan tidak enak. Â
Aku menyesal mengapa aku tidak menyampaikan itu, tapi aku akan lebih menyesal lagi jika momen gembira kumpul Idul Fitri rusak karena itu. Nyaliku saat itu sedang ciut  lebih tepatnya melempem seperti  kerupuk hahaha karena panjangnya perjalanan yang telah Aku tempuh. Aku menginginkan kedamaian  terutama saat bercakap-cakap seperti ini. Jadi biar ku rangkum di sini tentang perihal ibu bekerja atau ibu penuh waktu.
Ibu bekerja atau pun ibu penuh waktu keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Di antara keduanya terdapat kebaikan
Ibu bekerja memiliki tantangan dan polemiknya sendiri begitu juga dengan Ibu penuh waktu. Semuanya adalah pilihan yang harus dipilih orang-orang menyebutnya sebagai ikhtiar atau memilih jalan takdir. Hatiku bergetar saat menuliskan memilih jalan takdir.
Keadaan setiap orang tidak sama, setiap orang memiliki keadaannya masing-masing. Bila keadaan seseorang bisa ditukar tentu semua orang sudah melakukannya sedari dulu tanpa perlu diajari. Sungguh Sayang keadaan tidak bisa ditukar. Itulah fakta yang harus diterima
Untuk semua wanita yang bergelar Ibu aku ingin mengucapkan semangat, baik-baik yah. Apa pun pilihanmu itu menjadi ibu bekerja atau ibu penuh waktu itu bukan kesalahan apalagi aib. Itu hanya pilihan yang memiliki konsekuensi di baliknya. Tetap semangat dan bertanggung jawab atas pilihan yang sudah diambil.
Bagaimana pun keadaan hari ini  semoga Allah memberkahi setiap langkah dan keputusanmu.  Bi at-Taufiq wa an-najah. Artinya semoga Pertolongan Allah dan keberhasilan menyertaimu
Dariku Cantika Wkwk seorang ibu penuh waktu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H