Mentari pudar..
Sinar tak lagi berjaya..
Utuh merubahnya menjadi pecah, menjadi puing, menjadi jadilah namanya..
Saat ini menjadi itu, itu menjadi kebingungan, menjadi penatlah jawabnya..
Aku mabuk! Dan muntahku busuk!
Berceceran, berhamburan, berantakan!
Tak ingin tertawa dalam tangis, gelak menggila..
Akhirnya menangis kemudian tertawa, tesedak..
Baiklah.. Bersiaplah..
Racun-racun kata mulai terolah dengan baik untuk membunuh lidah naga, hati keledai..
Seketika kau lunglai merayap di jiwaku, mendendangkan nada-nada kesadaran..
"Bila teriknya matahari tak pernah sungguh membakar tubuh, kenapa perisaimu yang ku abaikan kini mampu membunuh segalaku?! Persetan! Sekarang juga hentikan rapuhku!"
Dalam kerumunan reaksi arak terteguk, ku jelaskan perlahan padamu, ah tidak! Cepat saja!
Baiklah.. Mendayu saja.. Ku tahu kau lebih menyukainya..
"Jangan lagi bertanya, tak perlu lagi memohon, dan segeralah berlalu sebelum kau semakin tergilai dayaku..
Sebab mimpimu pernah ku jadikan nyata, dan nyata kau jadikan petaka..
Napasku bukan tiupan angin abadi, dan kekuatanku bukan yang akan terlama bertahan..
Kau meraung dan membuat gema, aku pulas dalam buai damaiku sendiri, mengabaikan..
"Katakanlah aku tak lagi berhati, bukankah ini mimpi dan kemudian itu kenyataan yang kau pinta?"
Tegukan arak terakhir, berakhir..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H