Salah satu masalah sosial yang sangat kompleks dan tidak bisa dibiarkan begitu saja adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan data yang ada, perempuan lebih sering menjadi korban dalam kasus ini dibandingkan laki-laki. Mengapa demikian? Hal ini berhubungan erat dengan struktur ekonomi, sosial, dan budaya yang sudah ada di masyarakat kita. Bukan sesederhana karena hubungan atau perilaku individu itu sendiri. Dalam artikel ini, kita akan melihat faktor-faktor utama, seperti budaya patriarki, ketergantungan finansial, dan stigma sosial yang berperan besar dalam membuat perempuan lebih rentan terhadap KDRT. Selain itu, akan dijelaskan pula bagaimana kesetaraan gender dapat membantu mengurangi kasus kekerasan ini.
Budaya patriarki masih sangat kental di banyak masyarakat, yang menempatkan laki-laki sebagai figur yang dominan dalam rumah tangga. Â Banyak anak laki-laki dididik untuk menjadi "pemimpin" yang kuat dan mandiri sejak kecil, sementara perempuan diharapkan untuk patuh dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Stereotip ini menciptakan persepsi bahwa laki-laki memiliki hak untuk "mengontrol" atau "mengatur" perempuan dalam rumah tangga. Kekerasan sering kali dianggap sebagai cara yang sah untuk mempertahankan otoritas dalam situasi konflik atau perbedaan pendapat.
Budaya patriarki ini juga memberikan tekanan pada perempuan untuk tetap bertahan dalam situasi yang berbahaya atau tidak sehat demi menjaga "harga diri" keluarga. Perempuan dianggap harus tunduk, yang membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan tanpa merasa berhak untuk melawan atau mencari perlindungan. Dalam banyak kasus, korban KDRT justru merasa bersalah atau takut melaporkan kekerasan yang mereka alami karena takut dianggap sebagai istri atau ibu yang gagal.
Faktor lain yang membuat sulit bagi perempuan untuk keluar dari hubungan penuh kekerasan adalah mereka yang terlalu tergantung pada uang. Laki-laki masih menjadi pencari nafkah utama di banyak rumah tangga, sementara perempuan cenderung menangani urusan rumah tangga. Ketergantungan ini membuat perempuan sulit meninggalkan pasangan yang melakukan kekerasan karena mereka takut tidak bisa memenuhi kebutuhan finansial anak-anak dan diri mereka sendiri.
Ketika perempuan tidak memiliki sumber pendapatan sendiri, mereka merasa terjebak dalam situasi yang tidak memiliki pilihan. Ketergantungan finansial ini juga membuat perempuan lebih rentan terhadap kontrol pasangan, bahkan ketika kekerasan sudah melampaui batas. Â Mereka mungkin merasa bahwa tetap tinggal, meskipun penuh risiko, adalah satu-satunya pilihan jika mereka tidak memiliki dukungan finansial yang memadai.
Stigma sosial juga berperan besar dalam membuat perempuan menjadi korban KDRT. Perempuan yang menjadi korban KDRT seringkali mendapat tekanan untuk menyembunyikan kekerasan yang mereka alami karena mereka takut dianggap memalukan atau mencemarkan nama baik keluarga mereka. Dalam budaya yang masih kuat dengan nilai-nilai konvensional, perempuan dianggap bertanggung jawab atas keharmonisan rumah tangga, dan ketika terjadi konflik atau kekerasan, perempuan sering kali disalahkan karena dianggap tidak bisa memenuhi ekspektasi sebagai istri atau ibu.
Stigma ini semakin memperparah keadaan karena korban KDRT tidak hanya menghadapi kekerasan fisik atau emosional, tetapi juga tekanan psikologis dari masyarakat sekitar. Mereka sering merasa tidak didukung atau tidak diperbolehkan untuk mencari bantuan, karena takut akan penilaian buruk dari keluarga, teman, atau lingkungan sekitar. Dengan demikian, banyak perempuan merasa sendirian dalam perjuangan mereka melawan KDRT.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi kita untuk mendorong kesetaraan gender di seluruh aspek kehidupan, mulai dari lingkungan keluarga hingga masyarakat luas. Berikut adalah beberapa cara bagaimana kesetaraan gender dapat membantu mengurangi KDRT:
Meningkatkan Kesadaran akan Hak dan Keadilan dalam Rumah Tangga: Dengan mengajarkan kesetaraan gender, kita bisa membantu perempuan untuk menyadari bahwa mereka memiliki hak yang sama dalam hubungan. Pendidikan mengenai hak perempuan dalam keluarga dan hukum perlindungan dapat membuat perempuan lebih sadar dan berani untuk melaporkan KDRT atau keluar dari hubungan yang penuh kekerasan.
Mendukung Kemandirian Finansial Perempuan: Memberikan akses yang sama bagi perempuan untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri adalah langkah penting untuk mengurangi ketergantungan finansial. Ketika perempuan memiliki penghasilan sendiri, mereka memiliki lebih banyak kekuatan untuk memilih dan menolak situasi berbahaya, tanpa khawatir akan kehidupan finansial mereka.
Menghapuskan Stigma Sosial tentang Peran Gender:Â Masyarakat perlu mendukung perempuan yang menjadi korban KDRT, bukannya menyalahkan atau mencela mereka. Mengedukasi masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah serius yang harus segera ditangani, bukan disembunyikan, bisa membantu menciptakan lingkungan yang mendukung bagi korban.
Mengubah Persepsi tentang Maskulinitas dan Kekuasaan: Dengan mempromosikan kesetaraan gender, kita bisa mendidik laki-laki dan perempuan tentang pentingnya kemitraan yang sehat dalam hubungan. Laki-laki tidak harus merasa perlu menunjukkan dominasi, dan perempuan berhak untuk mengekspresikan pendapat tanpa rasa takut. Memperkuat kesetaraan gender ini dapat membangun rumah tangga yang harmonis dan tanpa kekerasan.
Budaya patriarki, ketergantungan finansial, dan stigma sosial adalah faktor-faktor yang menjebak perempuan dalam siklus kekerasan rumah tangga. Untuk mengatasi hal ini, kita perlu mempromosikan kesetaraan gender sebagai nilai yang fundamental. Dengan menciptakan lingkungan di mana laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara, kita dapat membantu mengurangi kasus KDRT dan membangun masyarakat yang lebih adil, aman, dan penuh kasih.
Kesetaraan gender bukan hanya isu perempuan, ini adalah isu seluruh masyarakat. Dengan mendukung perempuan dalam mencapai kebebasan finansial, memberikan hak yang sama dalam rumah tangga, dan menghapus stigma, kita semua bisa ikut serta dalam perjuangan untuk menghentikan kekerasan dalam rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H