Mohon tunggu...
Dara Raihatul Jannah
Dara Raihatul Jannah Mohon Tunggu... Human Resources - lihat lalu tulis, dengar lalu tulis, baca lalu tulis.

Book enthusiast! Senang menulis POV tentang buku-buku yang sudah dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Penyimpangan Adat, "Kawin Tangkap" adalah Kejahatan terhadap Perempuan?

3 Juli 2024   23:04 Diperbarui: 4 Juli 2024   07:53 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Kawin Tangkap -- Benarkah, "Kawin Tangkap" adalah wujud lain dari praktik kekerasan seksual yang berlindung dari tameng tradisi? | BBC/Davies Surya via Kompas.com

Kawin Tangkap (Yappa Mawine) adalah penyimpangan adat perkawinan di Sumba yang dilakukan dengan menangkap (menculik) perempuan yang akan dinikahi sebelum proses resmi secara adat. 

Dalam penjelasan Martha Hebi yang dikutip dari Kompas.com, kawin tangkap dilakukan dalam konteks kekerabatan keluarga, klan, atau suku yang salah satu tujuannya adalah untuk mengikat hubungan kekerabatan. Jadi, kawin tangkap ini biasa dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, dari keluarga laki-laki dan perempuan.

Lalu apakah semua masyarakat Sumba sepakat dengan tradisi ini?

Setelah membaca buku Dian Purnomo yang berjudul "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam", saya menemukan perspektif berbeda dari perempuan korban Kawin tangkap. 

Ternyata apa yang disampaikan Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa praktik ini merugikan perempuan benar adanya. Kawin tangkap adalah bagian dari praktik kekerasan seksual dengan menggunakan tradisi sebagai tameng untuk membenarkan kejahatan sebagai suatu perilaku yang disetujui oleh masyarakat.

Dari kisah Magi Diela yang diangkat oleh Dian Purnomo dalam bukunya memperlihatkan betapa menyakitkan tradisi kawin tangkap ini terhadap perempuan. 

Tokoh Magi ini juga mengalami pemerkosaan sebagai tindakan pemaksaan atau ancaman dari laki-laki pelaku kawin tangkap agar dia menerima lamaran dan mau menikah dengannya. 

Hal itu menunjukkan bahwa tradisi ini justru menguburkan mimpi-mimpi perempuan seperti Magi dalam kisah tersebut, harga diri sebagai manusia yang bermartabat telah dihilangkan begitu saja. 

Bukan hanya itu, proses kawin tangkap ini juga melahirkan bentuk diskriminasi bagi perempuan yang dilakukan oleh perempuan lainnya seperti pada kisah Magi, perempuan di desanya terutama ibu-ibu memandang Magi sebagai perempuan yang sudah tidak perawan dan tidak tahu malu karena menentang tradisi karena tidak melanjutkan proses kawin tangkap.  

Hal paling berani yang ditunjukkan oleh Magi sebagai korban kekerasan adalah merencanakan ulang kekerasan seksual agar kembali dilakukan oleh tokoh Lebah Ali atas dirinya sebagai barang bukti untuk ditunjukkan kepada polisi. Skenario ini menunjukkan lemahnya sistem penegakan hukum yang membuat korban tidak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai seorang manusia yang harus diperlakukan dengan adil.

Sebenarnya bagaimana kedudukan kawin tangkap dalam adat perkawinan di Sumba?

Dari jurnal "Adat Kawin Tangkap sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual" yang ditulis oleh Herman dkk, ditemukan bahwa Istilah kawin tangkap dicetuskan oleh Salomi Rambu Iru, aktivis Sumba yang juga Direktur Forum Perempuan Sumba, pada awal 2000-an. 

Pada awalnya praktik menculik mempelai perempuan pada kawin tangkap dilakukan atas persetujuan pihak perempuan. Oleh karena itu disebut sebagai bagian dari ritual perwakinan. Namun, praktiknya menjadi makin melenceng dan penuh intimidasi. Jadi, ada manipulasi adat dalam persoalan ini sehingga praktik ini dianggap bertentangan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Apakah ada solusi terhadap penyimpangan ini?

Melalui laman Komnas Perempuan diterbitkan laporan yang menunjukkan berbagai tanggapan dan proses yang tengah diupayakan oleh Pemerintah, Komnas perempuan yang bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan korban penyintas kawin tangkap. 

Dari berbagai ulasan yang diberikan, penulis menyimpulkan belum adanya perhatian yang serius dari pemerintah daerah dalam menanggapi MoU yang telah diterbitkan untuk kasus ini. Belum adanya respon dengan merancang Peraturan Daerah (PERDA) menunjukkan sikap acuh terhadap perlindungan bagi perempuan. 

Selain itu, peristiwa ini juga menunjukkan bahwa hukum dengan perspektif HAM belum merasuki lembaga penegak hukum yang tercermin dari sikap dan integritas aparat. 

Hal ini belum bukannya tidak akan terjadi. Karena penulis juga menyadari dari cerita Magi di atas yang mengupayakan keseimbangan pemahaman atas kasus ini agar diterima oleh berbagai pihak sebagai sebuah tindakan yang salah, sebagai suatu kejahatan yang berulang. 

Magi mencerminkan dirinya sebagai sosok yang tangguh untuk memperjuangkan kemerdekaan atas dirinya. Namun apakah semua perempuan mampu seperti Magi? Bukankah harusnya ini menjadi perhatian semua pihak untuk tidak membuat korban menjebak dirinya secara terus menerus dalam kekerasan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun