Kawin Tangkap (Yappa Mawine) adalah penyimpangan adat perkawinan di Sumba yang dilakukan dengan menangkap (menculik) perempuan yang akan dinikahi sebelum proses resmi secara adat.Â
Dalam penjelasan Martha Hebi yang dikutip dari Kompas.com, kawin tangkap dilakukan dalam konteks kekerabatan keluarga, klan, atau suku yang salah satu tujuannya adalah untuk mengikat hubungan kekerabatan. Jadi, kawin tangkap ini biasa dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, dari keluarga laki-laki dan perempuan.
Lalu apakah semua masyarakat Sumba sepakat dengan tradisi ini?
Setelah membaca buku Dian Purnomo yang berjudul "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam", saya menemukan perspektif berbeda dari perempuan korban Kawin tangkap.Â
Ternyata apa yang disampaikan Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa praktik ini merugikan perempuan benar adanya. Kawin tangkap adalah bagian dari praktik kekerasan seksual dengan menggunakan tradisi sebagai tameng untuk membenarkan kejahatan sebagai suatu perilaku yang disetujui oleh masyarakat.
Dari kisah Magi Diela yang diangkat oleh Dian Purnomo dalam bukunya memperlihatkan betapa menyakitkan tradisi kawin tangkap ini terhadap perempuan.Â
Tokoh Magi ini juga mengalami pemerkosaan sebagai tindakan pemaksaan atau ancaman dari laki-laki pelaku kawin tangkap agar dia menerima lamaran dan mau menikah dengannya.Â
Hal itu menunjukkan bahwa tradisi ini justru menguburkan mimpi-mimpi perempuan seperti Magi dalam kisah tersebut, harga diri sebagai manusia yang bermartabat telah dihilangkan begitu saja.Â
Bukan hanya itu, proses kawin tangkap ini juga melahirkan bentuk diskriminasi bagi perempuan yang dilakukan oleh perempuan lainnya seperti pada kisah Magi, perempuan di desanya terutama ibu-ibu memandang Magi sebagai perempuan yang sudah tidak perawan dan tidak tahu malu karena menentang tradisi karena tidak melanjutkan proses kawin tangkap. Â
Hal paling berani yang ditunjukkan oleh Magi sebagai korban kekerasan adalah merencanakan ulang kekerasan seksual agar kembali dilakukan oleh tokoh Lebah Ali atas dirinya sebagai barang bukti untuk ditunjukkan kepada polisi. Skenario ini menunjukkan lemahnya sistem penegakan hukum yang membuat korban tidak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai seorang manusia yang harus diperlakukan dengan adil.