Perempuan mengalami kekerasan berlapis berupa kekerasan fisik, psikis maupun ekonomi selama masa konflik Aceh. kekerasan tersebut diantaranya pemerkosaaan, pelecehan seksual, penyiksaan, penangkapan, pencurian dan penjarahan (Lily dan Maya, dikutip dalam Komnas Perempuan, 2002:239). Beberapa perempuan korban penyiksaan seksual pada saat konflik mengalami kemandulan, cacat, rusak atau tidak berfungsinya organ seksual dan reproduksi.
Menurut sebuah studi tentang kebutuhan psikososial tingkat komunitas di tiga kabupaten yang terkena konflik (Pidie, Bireun, dan Aceh Utara), 85% dari para perempuan yang masuk dalam survei menujukkan gejala trauma dan 95% diantara mereka mengatakan bahwa trauma tersebut diakibatkan konflik (Asiah, 2011-2012:26). Sayangnya, para korban ini masih belum mendapatkan keadilan berupa reparasi konflik. Reparasi tidak hanya berarti penggantian kerugian dalam bentuk finansial, namun mencakup rahabilitasi, permintaan maaf kepada publik, penggantian kerusakan dan sebagainya (Victor Conde, 2004:60 ).
Dewasa ini ada begitu banyak peraturan ditingkat internasional, nasional, bahkan lokal (Peraturan Daerah dan Qanun) yang mengatur tentang pemenuhan hak korban pelanggaran HAM termasuk reparasi yang efektif.  Melihat kondisi di Aceh, bentuk pemulihan yang diberikan pemerintah kepada korban konflik Aceh adalah kompensasi finansial dan bantuan-bantuan lainnya  dengan skema yang terbatas dan tidak secara khusus memasukkan perempuan korban kekerasan seksual pada masa konflik.
Menilik Kasus RM, salah seorang korban pemerkosaan dan penyiksaan di Rumah Geudong saat ia berusia 17 tahun, disekap, disiksa, dilecehkan hingga diperkosa. Namun ia tidak pernah menerima bantuan dan respon apapun dari Pemerintah (Santiela, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol 16 No 3 Tahun 2014).Â
Ada juga korban penyiksaan yang disiksa menggunakan kabel listrik sebanyak 23 kali, termasuk organ seksualnya, belum mendapatkan bantuan sama sekali (ICTJ, Brifieng Paper, 2011:7). Selain itu, para korban mengaku tidak mendapat pengakuan apapun mengenai kekerasan yang mereka derita selama konflik Aceh berlangsung (Asiah, 2011-2012:48).
Ditambah lagi adanya pembedaan akses bantuan antara laki-laki daripada perempuan. Saat proposal itu disampaikan perempuan korban konflik maka kerap kali memakan waktu lama untuk diproses.Â
Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang didirikan untuk menjalankan program-program penyatuan kembali para mantan kombatan (orang yang berperan dalam konflik) dan masyarakat sipil yang terkena imbas konflik ini, kerap kali lebih memprioritaskan laki-laki daripada perempuan untuk mendapatkan bantuan dengan alasan laki-laki adalah kepala keluarga maka lebih penting didahulukan, daripada korban perempuan yang nyatanya mengalami dampak yang paling buruk (Lily, Maya, Syiah Kuala Law Journal: Vol. 2(3) Desember 2018).
Selain itu, perempuan kesulitan dalam mengumpulkan alat bukti visum tentang tindak pemerkosaan dan penganiyaan yang telah terjadi bertahun-tahun lalu karena jalur hukum mensyaratkan hal tersebut (Santiela, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol 16 No 3 Tahun 2014).Â
Lebih lanjut, keterlibatan perempuan dalam proses formal perdamaian sangat minim termasuk di lembaga pengambil keputusan sekalipun Dewan Keamanan PBB telah mengadopsi Resolusi 1325 tentang wanita dan Perdamaian dan Kemanan (United Nations Security Council Resolution 1325 on Women and Peace Securtiy).
Dalam sejarahnya, hanya satu perempuan dari Aceh yang terlibat dalam perundingan perdamaian konflik dan perannnya pun terbatas. Dari sini kita tahu bahwa perempuan tidak memiliki daya kontrol terhadap proses dan hasil dari setiap perundingan damai sehingga akhirnya perempuan tidak memperoleh persamaan kesempatan dalam menikmati manfaat dari hasil perundingan damai  untuk akses keadilan (Suherman, 2012:59)
Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara hukum dan non hukum pun tidak berjalan dengan baik yang menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM bagi korban perempuan dalam konflik (Lily, Maya, Syiah Kuala Law Journal: Vol. 2(3) Desember 2018). Lihat saja bagaimana riuhnya suasana saat dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Sampai sekarang tidak ada dukungan penuh dari pemerintah di tingkat nasional, sehingga lembaga ini kesulitan untuk membantu pemenuhan keadilan bagi kaum perempuan penyintas konflik.