Sebab puisi tak pernah sendiri, kau terus mencari huruf juga tanda baca yang dilarutkan hujan. Mengutip jejak sepasang kaki yang pergi, lalu berharap bisa kau cium jejaknya sebagai pengingat.
Meralat kesedihan, menertawai luka, menuliskan waktu yang beranjak.
Kata-kata tumpah lebih deras dari lagu di dadamu. Melarung suwung rentak gandrung menyetubuhi sunyi lebih akrab dari denyut nadimu sendiri.
Kau, masih terus mengeja satu nama dengan lidah terbata. Kau, masih memuja serpih kenangan sebentuk gadis ayu yang pergi tempo itu.
Kau, tak jua jera:
Memangku bulan dengan sepotong hati, sekeping janji. Berharap ada masanya kekasih akan kembali dengan sepenuh jiwa tanpa sedikitpun cela.
Sedang luka lara adalah teman teramat manis untuk disisih, sekedar menggantikan nama itu sebagai aku.
Sejelas naluri membaca tentang isyarat yang kau kirim sejauh ini, seruntut matamu menggugurkan kepastian. Aku paham. Bahwa kepergian mesti segera kutunaikan.
Selepas mampu kutarik makna yang gugur dari mata.
: selamat tinggal!
Bintan, 28092016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H