Mohon tunggu...
Kang Miftah
Kang Miftah Mohon Tunggu... Administrasi - Kontributor Kompasiana

Kompasianer 2012 Hp : 081586662186

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Bos Besar Saja Bawa Ompreng, Kok Kamu Gengsi?

17 Desember 2014   16:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:08 3355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu istirahat telah tiba, penulis mengamati dari kejauhan satu per satu karyawan mulai menutup layar laptop lalu membuka tas yang dibawanya, sejurus kemudian mereka mengeluarkan barang bawaan pribadi berupa ompreng berisi makanan berat. Ya, ompreng adalah barang umum yang setiap saat penulis lihat ketika jam dinding menunjukkan angka 12.00. Pemandangan ini bisa kita saksikan di gedung Eguity Tower Jakarta lantai 19 tempat di mana penulis melakukan aktivitas kerja, yaitu di perusahaan pertambangan nikel dengan wilayah orasi penambangannya di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat dan mayoritas karyawan di sini bermukim di daerah khusus ibukota dengan sebagian besar staffnya memeluk agama Nasrani.

[caption id="attachment_383234" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana Pantry di Kantor Penulis"]

14187813521922448482
14187813521922448482
[/caption]

[caption id="attachment_383238" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana Pantry di Kantor Penulis"]

14187817491369625487
14187817491369625487
[/caption]

Agama bukan satu penghalang untuk kami berkarya dan merajut keakraban. Karena situasi di sini sangat plural. Sesama karyawaan di perusahaan penulis begitu guyub (kompak) dan mengedepankan semangat kekeluargaan serta toleransi satu sama lain. Setiap menjelang hari raya lebaran misalnya, di kantor penulis selalu mengadakan acara seremonial buka puasa bersama yang diprakarsai oleh keluarga besar sahabat Nasrani. Termasuk hari ulang tahun, dengan uang pribadinya, bos kami sering mengadakan acara kecil-kecilan berupa makan bersama, dari level OB sampai Top Level. Suasana hati terasa begitu teduh ketika penulis berada di tengah-tengah mereka.

[caption id="attachment_383235" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana makan siang di pantry kantor (yang pake kemeja merah maroon direktur utama)"]

14187814552027233408
14187814552027233408
[/caption]

Di titik ini penulis tidak akan mengulas terlalu dalam bagaimana suasana hubungan kerja seputaran kantor, karena sedari awal sudah dijelaskan kalau di perusahaan kami, antara satu karyawan dengan karyawan lain begitu kompak dan suasananya sangat humanis. Namun pada kesempatan kali ini penulis hendak mengupas tentang budaya membawa ompreng dan makan bersama di pantry kantor yang dilakukan oleh sebagian besar karyawan, termasuk di antaranya adalah Bapak Dirut perusahaan dan Manager Keuangan. Yah, direktur utama perusahaan di kantor penulis sering membawa ompreng demi memenuhi kebutuhan makan siang setiap jam istirahat kerja.

Adalah hal unik pemandangan ini penulis temukan. Dulu saat masih bekerja di salah satu hotel bintang lima dan pabrik berskala nasional di Kota Bogor, untuk urusan makan siang, di sana sudah disediakan pihak perusahaan dengan jasa kateringnya. Sehingga para karyawan tidak harus makan siang di luar. Atas kebijakan itu, tidak sedikit pula para karyawan memilih untuk makan di luar dan rela merogoh uang pribadinya dengan alasan suasana yang monoton dan menu makan yang tersedia kurang menggugah selera. Sejenak penulis menengok sahabat karyawan yang bekerja di perusahaan sejenis BUMD, kantor pemerintah (PNS), pabrik swasta dan para SPG. Dari amatan penulis, karena ketidaktersediaan makan siang di kantor mereka, banyak di antara karyawan memilih makan di luar kantor dan warteg menjadi pilihan utama.

Kesimpulan

Di zaman yang serbamahal seperti sekarang ini, bagi penulis yang sehari-hari berprofesi sebagai staff biasa, hidup hemat, terukur dan sedikit perhitungan adalah jalan terbaik untuk melangsungkan kehidupan. Membawa ompreng ke tempat kerja merupakan solusi cerdas demi menekan pengeluaran pascanaiknya harga sembilan bahan makanan pokok sebagai efek dari kenaikan BBM. Mari kita bandingkan, uang 35 ribu kalau digunakan untuk belanja kebutuhan makan di rumah, seperti yang penulis lakukan saat ini, ternyata bisa cukup menghidupi sampai 3 kepala (saya, istri, dan anak). Harga makan siang di kota besar seperti Jakarta, rata-rata kalau kita mau makan sesuai selera harus merogoh uang sebesar lima belas sampai dua puluh lima ribu rupiah untuk satu porsi makan. Dengan membawa ompreng ke tempat kerja, kita bisa meminimalisasi biaya konsumsi dan sisanya bisa dialihkan untuk kebutuhan yang lain.

Sejatinya hidup ini memang pilihan. Kita bebas menentukan mau menjalani model seperti apa. Mau gaya-gayaan atau hidup apa adanya. Mau hidup sesuai kebutuhan atau hidup mengikuti keinginan. Mau meneladani kelompok high class yang hidupnya berkecukupan tapi sederhana seperti para bos di perusahaan penulis bekerja, atau mengikuti kelompok medium dan low level dengan bergaya layaknya orang kaya. Tulisan ini saya dedikasikan untuk segenap karyawan yang terbiasa makan di luar sekaligus refleksi atas kegusaran penulis melihat sodara sendiri yang lulusan SMA beliau berprofesi sebagai marketing perumahan dan gengsinya selangit. Galau gara gara dipuja oleh atasannya “Kamu itu udah cantik, penampilannya udah keren” masa berangkat kerja turun dari angkot? Atas ulah atasannya itu, seminggu kemudian anak itu merengek sama orang tuanya minta dibelikan mobil baru. Hiks hiks

Jakarta,

16/12/2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun