Mohon tunggu...
SUKAINIL AHZAN
SUKAINIL AHZAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Dosen di Universitas Pendidikan Mandalika dan sedang menempuh Program Doktor Program Studi Ilmu Pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Rapor Merah: Dilema Pembentukan Karakter

28 November 2024   20:25 Diperbarui: 28 November 2024   20:38 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era 1990-an, bagi banyak anak sekolah, pembagian rapor adalah salah satu momen yang paling mendebarkan dalam tahun ajaran. Tidak hanya menjadi evaluasi akademik, rapor juga menjadi tolok ukur bagaimana seorang siswa dipandang oleh guru, teman, dan terutama orang tua. Bagi mereka yang berprestasi, perhatian tertuju pada peringkat di kelas. Namun, bagi siswa dengan kemampuan akademik menengah ke bawah, perhatian justru pada warna merah yang mungkin muncul di rapor. Nilai merah tidak hanya menunjukkan ketertinggalan dalam pemahaman pelajaran, tetapi juga membawa stigma sosial, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga.

Saat itu, nilai merah di rapor juga berarti ancaman yang lebih besar: tidak naik kelas. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapi siswa dengan hasil belajar kurang memuaskan. Namun, di era pendidikan saat ini, penerapan rapor merah dan syarat tidak naik kelas hampir tidak lagi ditemukan. Sebagian besar siswa naik kelas meski hasil akademiknya belum optimal, selama mereka tidak melakukan pelanggaran berat.

Namun, baru-baru ini gagasan tentang penerapan kembali rapor merah dan syarat tidak naik kelas kembali mencuat. Wacana ini muncul dari aspirasi yang disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti. Melalui akun media sosial Kemendikdasmen, dijelaskan bahwa ide tersebut adalah salah satu usulan yang muncul di masyarakat, bukan kebijakan resmi. Pertanyaannya kini, apakah kebijakan ini akan berdampak positif dalam membentuk karakter anak? Ataukah justru akan membawa konsekuensi negatif yang melemahkan mental siswa?

Rapor Merah: Evaluasi atau Stigma?

Istilah "rapor merah" selama ini digunakan untuk menggambarkan nilai akademik yang berada di bawah standar. Pada masa lalu, warna merah di rapor menjadi sinyal bahwa seorang siswa mengalami kesulitan belajar di mata pelajaran tertentu. Konsekuensinya tidak hanya pada evaluasi internal, tetapi juga menghadirkan tekanan sosial dari lingkungan sekitar. Tidak sedikit siswa yang merasa tertekan oleh reaksi orang tua atau teman-temannya ketika nilai merah muncul di rapor.

Namun, dari perspektif pendidikan, rapor merah juga memiliki fungsi sebagai alat evaluasi dan motivasi. Nilai yang rendah menunjukkan bahwa siswa membutuhkan perhatian tambahan dari guru dan orang tua untuk memperbaiki kemampuan akademik mereka. Dengan pendekatan yang tepat, rapor merah seharusnya menjadi alat untuk memberikan bimbingan dan dukungan, bukan sekadar penghukuman atau penilaian sepihak.

Tidak Naik Kelas: Hukuman atau Pembelajaran?

Syarat tidak naik kelas pada masa lalu sering kali menjadi momok bagi siswa. Tidak naik kelas dianggap sebagai kegagalan, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi keluarganya. Namun, dalam dunia pendidikan, syarat tidak naik kelas sebenarnya bertujuan memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperbaiki pemahaman mereka terhadap materi yang belum dikuasai.

Dampak positif dari syarat ini adalah memastikan bahwa siswa benar-benar menguasai kompetensi yang dibutuhkan sebelum melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, penerapan kebijakan ini juga memiliki sisi gelap. Tekanan yang besar dapat menyebabkan siswa kehilangan motivasi, merasa malu, bahkan mengalami trauma psikologis. Dalam beberapa kasus, siswa yang tidak naik kelas merasa dikucilkan oleh teman-temannya dan kehilangan rasa percaya diri.

Peluang untuk Pembentukan Karakter

Meski membawa stigma, rapor merah dan syarat tidak naik kelas juga dapat menjadi peluang untuk pembentukan karakter anak. Melalui kebijakan ini, siswa diajarkan untuk bertanggung jawab atas hasil belajar mereka. Mereka belajar memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, tetapi sebuah pelajaran untuk bangkit dan memperbaiki diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun