Mohon tunggu...
Erlangga Yudha
Erlangga Yudha Mohon Tunggu... -

saya hanya seorang yang ingin mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya dan mulai detik ini menjadi orang yang berguna bagi keluarga, temen, dan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelacur Juga Manusia Biasa yang Memiliki Hak untuk Dilindungi

9 April 2010   04:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).
Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga juga disebut melacurkan dirinya sendiri, misalnya seorang musisi yang bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu komersil. Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman bernama kondom.
Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat.
Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa perempuan mana saja.
Sekarang yang menjadi persoalan adalah bahwa pelacur juga manusia biasa, dimana dalam hidupnya mereka melakukan pekerjaan yang dilarang agama hanya untuk melanjutkan hidup, bahkan membiayai keluarganya bagi yang sudah berkeluarga. Akan tetapi apabila kalian membaca peraturan daerah Tangerang, Perda no. 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran pada Bab II Pasal 4 ayar 1 adalah Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan – jalan umum, dilapangan –lapangan, dirumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung – warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut – sudut jalan atau di lorong – lorong atau tempat – tempat lain di daerah. Pertanyaannya adalah harus dimanakah mereka hidup? Hal ini yang harusnya dikaji lagi oleh pemerintah setempat. Masih banyak cara yang bisa digunakan untuk meminimalisir kegiatan prostitusi, akan tetapi semua itu kembali kepada peran pemerintah daerah dalam rangka mensejahterakan rakyatnya. Setiap pelacur pasti memiliki alasan tersendiri mengapa dirinya memilih cara singkat untuk mendapatkan uang. Apabila kita teliti lagi, tidak ada perempuan manapun yang dirinya ingin berstatus pelacur atau wanita penghibur sekalipun. Sehingga ini semua kembali pada peran aktif pemerintah setempat dalam rangka membuat masyarakatnya maju dan sejahtera. Jika pemerintah daerah sudah mendirikan lapangan pekerjaan dan masyarakat pengangguran sedikit, maka pelacuran secara sendirinya akan mulai berkurang sebab telah ada lapangan pekerjaan. Secara logika, seorang pelacur melakukan pekerjaan sebagai wanita penghibur tidak akan suka, sebab baginya ini adalah cara terakhir untuk melangsungkan hidupnya. Sehingga yang harus diperbaruhi atau diubah adalah peran aktif pemerintah daerah tersebut bukan justru memojokan diri para pelacur, sebab akan kemana ia singgah atau tinggal jika peraturan daerah tersebut dijalankan.
Mungkin tulisan saya cukup sampai disini saja. Dalam tulisan kali ini tidak ada maksud untuk mengkoreksi kinerja pemerintah daerah, akan tetapi saya hanya ingin membuka mata terhadap peraturan tersebut. Bagi saya peraturan tersebut justru malah melemahkan masyarakat indonesia yang ada hanya kelompok mayoritas dan minoritas nantinya. Alangkah baiknya terlebih dahulu kita merasakan penderitaan orang lain baru kita boleh bicara dengan terobosan yang ada dan disertai dengan fakta yang kuat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun