Menjaga Warisan Inklusi di Desa Bengkala: Tantangan dan Peluang dalam Era Multikultural
Desa Bengkala, yang terletak di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia, merupakan contoh luar biasa dari keberagaman sosial yang terjaga dengan baik. Dikenal sebagai “Desa Isyarat,” sekitar 50% penduduknya memiliki gangguan pendengaran dan menggunakan bahasa isyarat Bali dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, komunitas difabel bukan hanya diterima, tetapi dihargai sebagai bagian integral dari masyarakat. Penerimaan terhadap perbedaan ini menjadikan Desa Bengkala sebagai salah satu desa inklusi terbaik di Indonesia. Namun, dalam menghadapi tantangan globalisasi dan modernisasi, menjaga warisan inklusi ini menjadi semakin kompleks
Warisan Inklusi di Desa Bengkala, inklusi sosial yang ada di desa ini telah berkembang cukup lama. Masyarakat desa ini mempunyai tradisi budaya yang kuat dalam menghargai perbedaan, termasuk yang berkaitan dengan kemampuan fisik. Bahasa utama komunikasi antara orang yang bisa mendengar dan mereka yang memiliki masalah pendengaran sudah lama menggunakan bahasa isyarat Bali. “Masyarakat penyandang disabilitas di Desa Bengkala hidup berdampingan dengan masyarakat yang bisa mendengar tanpa adanya diskriminasi, dan bahasa isyarat Bali merupakan alat pemersatu dalam berkomunikasi,” menurut penelitian (Artha & Suhartini, 2015, p. 48 ). Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman tidak hanya diterima tetapi juga dihargai di desa ini.
Keberhasilan ini juga didorong oleh pendidikan yang inklusi. Sejak usia dini, anak-anak di Desa Bengkala diajarkan bahasa isyarat, baik yang memiliki gangguan pendengaran (tuna rungu) maupun yang tidak, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan lancar tanpa ada pembatasan. Hal ini menciptakan generasi muda yang memiliki pemahaman lebih dalam tentang inklusi sosial dan keberagaman.
Tantangan Globalisasi dan Modernisasi. Meski begitu, Desa Bengkala kini menghadapi tantangan yang semakin besar, terutama akibat dampak globalisasi dan modernisasi. Seiring dengan kemajuan teknologi dan arus informasi yang semakin cepat, desa ini mulai terhubung lebih erat dengan dunia luar. Dalam konteks ini, keberagaman budaya dan sistem inklusi yang telah dibangun selama ini harus beradaptasi dengan perubahan zaman. Seperti yang dijelaskan oleh Yuliana dan Rachmawati (2019), “Globalisasi membawa tantangan besar bagi identitas budaya lokal. Masyarakat yang terbiasa dengan pola hidup inklusif harus menemukan cara agar nilai-nilai tersebut tetap relevan di tengah arus perubahan” (Yuliana & Rachmawati, 2019, p. 112).
Salah satu dampak nyata dari globalisasi adalah masuknya budaya luar yang mungkin tidak selalu menghargai nilai inklusi yang ada di Desa Bengkala. Di dunia yang semakin terhubung, ada kecenderungan bagi masyarakat untuk mengadopsi norma-norma atau sosial yang ada di desa tersebut, yang kadang tidak sepenuhnya memperhatikan keberagaman lokal. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Desa Bengkala untuk terus meneguhkan nilai inklusi mereka sekaligus membuka diri terhadap perkembangan dunia luar.
Teknologi dan Pendidikan sebagai Katalisator Inklusi. Pendidikan sangat penting untuk melestarikan tradisi inklusi ini. Pendidikan di Desa Bengkala harus mampu memadukan prinsip-prinsip inklusi dengan pengetahuan global yang relevan karena pendidikan merupakan lembaga yang membentuk pola pikir generasi penerus. Menurut laporan UNESCO tahun 2015, “Pendidikan yang berbasis pada keberagaman budaya dan sosial memungkinkan terbentuknya masyarakat yang lebih adil dan setara, dimana setiap individu mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi tanpa terkecuali” Oleh karena itu, pendidikan di Desa Bengkala harus terus bertumpu pada landasan gagasan tradisional tentang inklusi harus siap beradaptasi dengan perubahan yang dibawa oleh periode globalisasi.
Selain itu, teknologi dan media sosial menawarkan peluang besar untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya inklusi Desa Bengkala. Penggunaan teknologi dapat memperkenalkan bahasa isyarat Bali ke dunia luar, membuka kesempatan bagi desa ini untuk berbagi pengalaman mereka tentang inklusi sosial dengan komunitas global. Heryanto (2018) menjelaskan bahwa, “Media sosial dan teknologi digital dapat menjadi sarana efektif untuk menyebarkan kesadaran tentang keberagaman dan inklusi sosial, serta memperkenalkan bahasa isyarat Bali sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia” (Heryanto, 2018, p. 82). Hal ini dapat membuka peluang untuk menghubungkan Desa Bengkala dengan komunitas inklusi global, serta memperkenalkan konsep inklusi kepada masyarakat yang lebih luas.
Kolaborasi untuk Mencapai Inklusi Berkelanjutan. Pelestarian warisan budaya inklusi Desa Bengkala sangat bergantung pada kerja sama antara masyarakat, lembaga pendidikan, dan pemerintah. Dengan menetapkan undang-undang yang mendorong pertumbuhan pendidikan inklusi dan menjamin bahwa setiap komunitas memiliki akses yang sama terhadap teknologi, pemerintah daerah dapat memainkan peran yang penting. Komunitas internasional dan non-pemerintah juga dapat berkontribusi dengan menawarkan bantuan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menangani permasalahan kontemporer.
Menjaga warisan tradisi inklusi Desa Bengkala. Namun, tantangan multikultural ini dapat diatasi secara efektif jika semua pihak berkomitmen untuk bekerja sama. Jika ditangani dengan baik, keberagaman desa yang ada saat ini akan meningkatkan kehidupan sosial dan budaya serta menumbuhkan masyarakat yang lebih harmonis, adil, dan inklusif.
Referensi:
Artha, P., & Suhartini, G. (2015). Inklusi Sosial dalam Komunitas Difabel di Desa Bengkala. Jurnal Pendidikan, 32(3), 45-60.