Sebagai seorang Kristiani, saya memiliki kebiasaan mengenakan peci hitam---atau yang dikenal juga sebagai kopiah atau songkok---sebagai bagian dari pakaian sehari-hari ketika ada kegiatan-kegiatan sosial. Namun, tidak jarang saya menerima komentar dari teman-teman kerja seperti, "sudah dapat hidayah" atau "mau log in."Â
Meskipun saya hanya tersenyum menanggapi, hati saya kerap meneteskan air mata. Komentar-komentar itu mencerminkan minimnya pemahaman tentang keberagaman budaya dan simbol nasional kita. Jika dibiarkan, sikap seperti ini dapat mengikis semangat persatuan dan nasionalisme, terutama bagi generasi muda.
Ada banyak cara sederhana yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan rasa cinta kepada bangsa.Â
Sebagai contoh, Amerika Serikat secara konsisten menyisipkan simbol kebanggaan nasional seperti bendera dalam film-film mereka. Dalam banyak karya Hollywood, Amerika sering digambarkan sebagai penyelamat dunia, membangun rasa bangga warganya terhadap tanah air. Langkah kecil seperti itu ternyata berdampak besar dalam membangun pola pikir warga negara mereka.
Kisah kecil saya tentang peci hitam memiliki relevansi yang sama.Â
Komentar-komentar sepele yang menyiratkan pengkotak-kotakan budaya dan agama sebenarnya bisa merongrong rasa cinta tanah air dan mengaburkan semangat perjuangan para pendiri bangsa kita. Oleh karena itu, mari kita sedikit menilik sejarah peci nasional untuk memahami simbol kebanggaan ini.
Sejarah Peci sebagai Identitas Nasional
Tradisi mengenakan penutup kepala sebenarnya sudah mengakar kuat dalam budaya nusantara. Di Sulawesi Selatan, misalnya, masyarakat Toraja mengenal Passapu, sejenis penutup kepala yang digunakan dalam berbagai upacara adat. Di Nusa Tenggara Timur, terdapat peci berbahan tenun yang dikenakan dalam acara tradisional. Di Jawa, ada blangkon yang menjadi ciri khas budaya setempat. Bahkan di Maluku, ikat kepala menjadi bagian penting dalam ritual adat.
Leluhur kita, terutama kaum pria, telah lama menjadikan penutup kepala sebagai bagian dari identitas dan budaya mereka. Hal inilah yang menginspirasi Bung Karno untuk menjadikan peci hitam sebagai simbol nasionalisme. Dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno menyampaikan,
"...Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya juga mencatat bahwa peci awalnya merupakan penutup kepala yang lazim dipakai umat Muslim. Namun, setelah diterima oleh Bung Karno dan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai lambang nasionalisme, makna peci melampaui sekadar atribut agama. Ia menjadi simbol perjuangan, persatuan, dan identitas bangsa Indonesia.
Menumbuhkan Nasionalisme Melalui Hal-Hal Sederhana
Sebagai anak bangsa, sudah selayaknya kita menjaga dan merawat simbol-simbol kebanggaan nasional ini. Jangan biarkan hal-hal kecil seperti komentar tidak berdasar menjadi alasan untuk merasa ganjil terhadap budaya sendiri. Sebaliknya, mari kita jadikan simbol-simbol ini sebagai pengingat akan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Peci hitam bukan sekadar penutup kepala; ia adalah simbol kepribadian, kebanggaan, dan perjuangan bangsa. Dalam setiap lipatannya, tersimpan sejarah panjang tentang keberanian dan tekad para pendiri bangsa untuk melawan penjajah. Dengan mengenakannya, kita tidak hanya menghormati tradisi, tetapi juga turut menjaga warisan budaya Indonesia yang kaya dan beragam.
Mari, sebagai generasi penerus, kita terus tumbuhkan rasa cinta kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal-hal kecil seperti ini, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi modal utama dalam membangun bangsa yang lebih kuat dan bersatu. NKRI harga mati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H