Di tengah era digital yang semakin maju ini, isu sosial tidak lagi hanya berfokus pada persoalan di dunia nyata, tetapi juga mulai berfokus pada dunia maya. Kejahatan siber, yang dulunya dianggap sebagai ancaman kecil, sekarang ini sudah menjadi salah satu permasalahan sosial yang signifikan. Tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memengaruhi tatanan masyarakat secara luas, mulai dari pencurian identitas hingga perundungan melalui sosial media, ancaman ini semakin menjadi nyata, khususnya bagi Generasi Z, yang hidupnya sangat dekat dengan teknologi.
Salah satu hal yang menjadi perhatian utama di era sekarang ini adalah bagaimana kebiasaan Generasi Z dalam memanfaatkan teknologi sering kali membuka kesempatan bagi para pelaku kejahatan siber. Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sekitar 34% pengguna internet di Indonesia adalah Generasi Z. Angka ini menunjukkan betapa besarnya peluang bagi pelaku kejahatan untuk menargetkan mereka, terutama melalui media sosial yang menjadi bagian penting dari kehidupan mereka.
Salah satu bentuk kejahatan yang paling sering terjadi adalah cyberbullying. Dari survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika, hampir 30% Generasi Z pernah menjadi korban perundungan daring. Seperti yang sudah kita ketahui, dampak dari perundungan ini tidak bisa dianggap sebagai suatu hal yang remeh karena dapat merusak kepercayaan diri seseorang bahkan banyak korban yang mengalami gangguan psikologis yang serius, seperti depresi dan kecemasan.
Selain cyberbullying, kebiasaan berbagi informasi secara berlebihan di media sosial juga membuat Generasi Z rentan untuk mengalami pencurian identitas dan penipuan daring. Banyak dari mereka yang belum memahami pentingnya menjaga privasi data - data pribadi, seperti nomor telepon, alamat rumah, atau informasi keuangan.
Salah satu faktor utama yang memengaruhi tingginya kerentanan ini adalah kurangnya edukasi digital kepada Generasi Z. Sebagian besar dari mereka belum dibekali dengan pemahaman tentang etika digital maupun konsekuensi hukum dari aktivitas mereka di dunia maya. Misalnya, mereka tidak menyadari bahwa tindakan seperti menyebarkan informasi palsu atau melakukan perundungan daring bisa memiliki dampak hukum.
Selain itu, pengawasan dari orang tua juga cenderung kurang optimal. Sebagai generasi yang tumbuh bersama teknologi, banyak orang tua merasa kesulitan untuk mengimbangi pengetahuan digital anak-anak mereka. Hal ini membuat Generasi Z lebih banyak belajar tentang dunia digital dari teman sebaya atau sumber yang tidak selalu terpercaya.
Studi Deloitte bahkan menunjukkan bahwa Generasi Z tiga kali lebih mungkin menjadi korban penipuan siber dibandingkan generasi sebelumnya. Saya percaya ini menjadi sinyal kuat bahwa kita perlu segera mengambil tindakan untuk melindungi mereka.
Kunci untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan meningkatkan literasi digital di kalangan Generasi Z. Salah satu langkah yang sudah dilakukan adalah program edukasi seperti Cyber Security Awareness. Program ini membantu generasi muda memahami bahaya kejahatan siber dan cara untuk menghindarinya. Selain itu adanya perusahaan seperti Indosat Ooredoo Hutchison yang berkomitmen untuk memajukan literasi digital bagi generasi muda melalui edukasi tentang keamanan data sangat membantu pada permasalahan ini.
Namun, langkah ini tidak cukup jika hanya dilakukan oleh pihak tertentu. pemerintah, lembaga pendidikan, dan perusahaan teknologi juga perlu untuk saling berkolaborasi untuk mencari penyelesaian dari permasalahan ini. Misalnya pada Lembaga pendidikan, dapat memasukkan literasi digital sebagai bagian dari kurikulum wajib. Selain itu, platform media sosial juga perlu lebih aktif dalam memberikan perlindungan bagi pengguna muda, seperti meningkatkan sistem deteksi terhadap aktivitas mencurigakan atau edukasi langsung melalui aplikasi mereka.
Sebagai Generasi Z, kita semua harus kemiliki kesadaran untuk bertanggung jawab dan lebih berhati-hati dalam menggunakan teknologi. Kita dapat memulainya dengan mengembangkan kebiasaan yang lebih aman, seperti menjaga kerahasiaan data pribadi, mengenali tanda-tanda penipuan daring, dan berhati-hati terhadap konten yang kita bagikan.
Kesadaran ini tentu saja harus dimulai dari hal-hal kecil, seperti menggunakan kata sandi yang kuat, tidak mudah percaya pada tautan atau pesan mencurigakan, dan memahami pentingnya verifikasi dua langkah untuk akun digital. Dengan begitu kita bisa lebih siap menghadapi ancaman yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H