Kekecewaan Majnun atas fakta keterpisahan benar-benar ia ekspresikan. Mulai dari berjalan, berlari, berguling-guling, bersenandung, menangis, meratap, dan semua ekspresi yang dapat ia tumpahkan sebagai wujud atas patah hati yang mendalam.
Sebagaimana dalam salah satu syairnya ia berkata, "Rinduku kepadamu menjadi hiburan hatiku. Rindu adalah luka sekaligus obat penawarnya. Sungguh, hanya kau yang kuasa memberiku kecupan manis dari bibirmu yang tipis! Tiba-tiba mata jahat dunia memisahkanku darimu, oh rembulanku. Para musuh merebut buah segar dari tanganku dan menghempaskanku yang dahaga ke atas bumi yang tak berdosa ..." (Ganjavi, 2020: 21).
Kisah ini mungkin terlihat berlebihan---atau bahkan ekstrem---dalam arti apakah patah hati harus diekspresikan sampai di level itu? Tentu kisah Layla Majnun tidak hanya dapat dipahami di level jalan ceritanya saja, melainkan harus dicari makna dibalik apa yang telah diceritakan.
Secara tersirat, Majnun memberikan pesan bahwa tidak masalah bagi individu untuk mencurahkan dan mengekspresikan segala bentuk kekecewaan yang ia rasakan. Curahkan atau bahkan tumpahkan saja semua ganjalan itu agar setelahnya dirasakan sebuah kelegaan. Menahan rasa kecewa hanya membuat kondisi diri semakin sulit menerima kenyataan.
Fakta bahwa ada hati yang patah memang---cepat atau lambat---mesti diterima, namun alangkah lebih melegakan apabila seluruh ganjalan kekecewaan itu benar-benar telah terkuras habis. Menangislah, merataplah, berteriaklah, atau bahkan tertawalah, jika itu dapat menguras seluruh rasa kecewa dalam hati, sehingga setelahnya tidak ada bibit-bibit kebencian yang tersimpan.
Bila diperhatikan, sebab utama dari ratapan dan tangisan Majnun sebagai wujud kekecewaan atas keterpisahan adalah rasa cinta yang besar kepada Layla. Jika cinta Majnun tidak sebesar itu, maka tidak mungkin ada ledakan kekecewaan yang sebegitu dahsyat. Artinya, dibalik kekecewaan yang besar, ada rasa cinta yang besar pula.
Mengekspresikan kekecewaan bukan berarti menebar benih kebencian. Justru yang terjadi sebaliknya, dalam ekspresi kekecewaan terdapat fakta bahwa ada cinta yang benar-benar tertancap kuat di lubuk hati. Ekspresi kekecewaan adalah wujud dari ketidakpercayaan individu mengenai fakta yang harus ia terima, yaitu ada cinta yang tertolak, terabaikan, atau bahkan terkhianati.
Bersabarlah
Dapat diakui bahwa dalam kisah Layla Majnun seolah-olah hanya tertuju pada ekspresi Qays. Padahal Layla juga memiliki porsi tersendiri dalam mengekspresikan kekecewaannya. Agak keliru jika Layla dianggap tidak berbuat apa-apa, tidak merasakan apa-apa, atau bahkan---yang makin keliru---dianggap menikmati situasi keterpisahan itu, khususnya ketika ia di kemudian hari dinikahkan dengan pemuda terhormat bernama Ibnu Salam.
Dalam salah satu dialognya dengan orang asing, Layla mengatakan, "Mengapa kau taburkan garam ke atas lukaku? Biar kukatakan kepadamu, dulunya aku Layla tapi kini bukan lagi Layla. Aku telah gila, lebih Majnun daripada ribuan Majnun" (Ganjavi, 2020: 149-150). Perkataan ini menandakan bahwa Layla sama tersiksanya dengan Majnun.
Kerinduan Layla terhadap Qays tergambar dalam perkataannya, yaitu "Aku tak diizinkan hidup bersama Majnun, dan aku rindu sekali kabar darinya. Bagaimana ia menghabiskan hari-harinya? Dimanakah ia tinggal? Apakah yang ia lakukan ketika menjelajahi padang? Punyakah ia teman? Kalau punya, siapa? Apa yang ia katakan? Apa yang ia pikirkan? Jika kau tahu sesuatu tentangnya, hai orang asing, katakanlah kepadaku, kumohon kepadamu!" (Ganjavi, 2020: 151).