Mohon tunggu...
Azis Tri Budianto
Azis Tri Budianto Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa | Penulis | Filsuf
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dalam hidup kita hanya sebagai pemain, jadilah pemain yang menjalankan perannya dengan baik. _sing biasa bae

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengenal Keilmuan dengan Maqom Sok Tau

11 Januari 2023   21:46 Diperbarui: 11 Januari 2023   21:54 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/7n4BlXM

Mengetahui bahwa Anda tidak tahu adalah yang terbaik. Berpura-pura tahu ketika Anda tidak tahu adalah penyakit ---Lao Tzu---

Membaca berita online dan deretan komentar sesudahnya, merenungkani ajakan berbagi "kebenaran-kebaikan" di Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, menggelisahi konflik-konflik antar kepentingan dan idola dengan argumen 'pokoknya', menertawai kekonyolan-kekonyolan logis-etis-estetis yang dipampangkan oleh para manusia pandai hari ini, saya kembali pada kata favorit yang pernah kutulis juga sebelumnya: 'sok tahu'.

Manusia hari ini terasa begitu nggaya dan kemaki seakan jangkauan wawasannya bisa menembus tidak hanya wilayah-wilayah jauh tak terjamah manusia, namun juga wilayah-wilayah dalam yang tak mungkin disentuh oleh perangkat apapun yang dimilikinya hari ini, seperti suara hati atau bunyi pikiran orang lain, keinginan seluruh rakyat, kehendak Tuhan, kemurkaan ataukah 'kepedulian' Tuhan, kepastian kebaikan A atau kepastian jeleknya B, keniscayaan surga, kondisi auto-neraka , dan lain sebagainya.

Kehadiran orang-orang 'sok tahu' ini membawa implikasi besar dalam konstruksi dan hubungan sosial-budaya-politik hari ini. Kekacauan berpikir, konflik fungsi dan relasi, ketidakjelasan nuansa informasi (kebenaran, konteks, sumber, aplikasi atau implisit) seringkali merupakan akibat dari kehadiran orang-orang 'sok tahu' ini.

Menarik membaca penelitian dua profesor psikologi sosial Amerika, David Dunning dan Justin Kruger, bahwa orang-orang dengan kemampuan berpikir rendah seringkali berperilaku sok tahu. Karena mereka merasa memiliki kompetensi dan pengetahuan serta tidak sadar bahwa banyak hal di luar kemampuan mereka. Sebaliknya, individu dengan kemampuan berpikir tinggi lebih sering tidak menganggap kemampuan tinggi itu sendiri karena menyadari keterbatasan otak mereka. Lebih jauh profesor David Dunning menyimpulkan berdasarkan penelitiannya bahwa kebanyakan orang menjadi 'sok tahu' karena ingin berada pada posisi yang nyaman, atau ingin menegaskan status dan identitas mereka.

Entah kenapa tiba-tiba aku merasa tertarik untuk membaca lagi makhluk menggelikan bernama 'sok tahu' ini dengan perspektif yang berbeda: maqamat dan ahwal . Konsep maqamat dan ahwal ini dapat Kita menemukan konsep maqamat dan ahwal dalam uraian para sufi, yang menjelaskan tahapan yang harus dilalui oleh seorang musafir atau yang sedang melakukan perjalananan menuju-Nya (salik) Dalam menempuh spiritual di jalan Tuhan (suluk).

Sungguh mengagumkan kepandaian para ulama sufi, yang menjabarkan dengan sangat rinci perjalanan ruhani seorang hamba kepada Tuhannya, antara lain dengan mengkategorikan maqam-maqam yang harus dilalui dalam teori. Jiwa disebut hal (jamak: Ahwal)

Maqamat diupayakan oleh si salik, dan ahwal merupakan anugrah dari Allah. Maqamat itu tahapan perjalanan yang harus ditempuh, misalnya mulai dari taubat , lalu zuhud , faqr , sabar , syukur , rida , dan tawakal . Sementara dalam perjalanan berat menelusuri maqamat itu, seorang salik dimungkinkan mendapat anugrah ahwal dari Allah, misalnya khauf (ketakutan), raja' (harapan), syauq (kerinduan), atau mahabbah (cinta).

Meski berasal dari ranah tasawuf, konsep maqamat dan ahwal ini sebenarnya sangat logis dan dapat digunakan sebagai kerangka teori untuk berbagai fenomena manusia dan dunianya serta dapat diterapkan untuk banyak ranah kehidupan, termasuk ilmu dunia, pengetahuan, dan filsafat. Misalnya dalam bidang pendidikan, belajar, membaca atau menulis adalah ikhtiar (maqam), sedangkan memahami, mencerahkan, menjiwai, dsb. Adalah hadiah (hal).

Selain dapat digunakan untuk membaca perjalanan spiritual 'penuh cahaya', logika maqamat dan ahwal ini juga dapat digunakan untuk membaca fenomena-fenomena kemunduran hidup atau bayangan. Jika kita mengikuti jalan "gelap" (maqam), maka kita akan tersesat (hal). Jika kita menempuh rute "kecurangan" (maqam), maka kita mendapatkan "kegelisahan/kecemasan" (hal).

Jika kita mengikuti jalan 'hanya materi' (maqam), maka kita akan mendapatkan 'keserakahan' atau 'keserakahan' (hal). Mengambil jalan keegoisan (maqam) mengarah pada kesombongan (hal). Kalau kita menempuh jalan 'kekerasan' ( maqam ), maka kita akan mendapatkan 'kekacauan dan hukum' ( hal ). Jadi ternyata dengan kerangka teori maqamat dan ahwal, kesalahan, kerancuan, sumbatan, kekacauan dalam hidup kita, sesungguhnya adalah akibat dan akibat dari perilaku kita sendiri.

Kembali ke masalah 'sok tahu'. Dari segi maqamat dan ahwal, "kesombongan" dapat dibaca sebagai semacam maqam yang di baliknya tersembunyi keadaan pikiran (hal), yaitu "kesombongan". Kelahiran perilaku "sok tau" memiliki sebab dan akibat yang sama: Sombong.

Saat seseorang berperilaku 'sok tahu', pasti dilandasi oleh keinginan 'dianggap tahu' oleh orang lain, dan keinginan tersebut pastilah berakar dari rasa "aku ini penting", "aku ini pintar", "aku ini berpengaruh", "aku ini serba tahu " dan sejenisnya. Nah maka dari itu sebuah maqom 'sok tahu' ini memiliki hakikat kesombongan.

Catatan: Mereka yang sudah tahu cenderung diam, sedangkan mereka yang "sok tau" lebih suka menunjukkan pengertiannya. Mereka yang sudah tahu sering menjelaskan ketika ditanya/ditanyai, sedangkan yang "sok tau" sering memaksakan diri untuk menjelaskan pemikirannya tanpa harus bertanya. Orang yang sudah tahu biasanya paham keterbatasan pengetahuannya, sementara yang 'sok tahu' justru ingin menampilkan seberapa luas pengetahuannya. Orang yang sudah tahu biasanya siap menerima data dan pengetahuan baru, sementara yang 'tahu' biasanya ngeyel dan merasa dirinya yang paling benar. Orang yang sudah tahu biasanya tidak mengakui pengakuan orang lain atas kebenarannya, namun yang 'sok tahu' justru menuntut pengakuan dan pujian orang lain atas kebenarannya sendiri.

Dalam bahasa akhlak, kesombongan orang yang "sok tau" digambarkan melalui empat sifat mazmumah (tercela), yaitu riya' (pamer), sum'ah (mendengarkan/berbicara baik), ujub (bangga), dan takabbur ( merasa lebih besar dari yang lain).

Sebagai makhluk, manusia memiliki kodrat yang terbatas, banyak potensi kelemahan dan kesalahan. Kesejatian diri seseorang justru dapat ditemukan dalam pemahaman dan kesadarannya akan membatasi dirinya, kelemahan dirinya dan kemungkinan kesalahan dirinya sendiri. Inilah mengapa manusia tampak lebih indah disaat mereka secara tulus "merendahkan dirinya" dan berasa menbosankan disaat mereka membesar-besarkan, mementing-mentingkan, mengunggul-unggulkan dirinya sendiri. Kesombongan akan membawa orang ke neraka di bumi dan neraka di akhirat tanpa menyadarinya. Manusia tidak kompatibel dengan kesombongan. Itulah mengapa kita merasa muak setiap kali berhadapan dengan orang sombong.

Fasilitas IT yang begitu memudahkan ekspresi dan komunikasi menjadi jembatan utama tampilnya begitu banyak orang sombong 'sok tahu' masa kini. Yang baru belajar membaca Al-Quran nekad berfatwa; yang baru belajar filsafat mengkritik dan mencemoh apapun yang dianggap tidak masuk akal; yang baru belajar berpikir sudah berdebat; yang baru belajar berbicara sudah ceramah; yang baru belajar membaca sudah menggurui; yang baru belajar tasawuf memvonis 'kedangkalan' syari'ah; yang baru belajar fikih, kemana-mana mendalilkan halal-haram; yang baru belajar akidah 'menyesat-nyesatkan' para ulama dan auliya'; yang baru belajar agama, menuding-nuding yang dianggap 'tidak agama'; yang baru belajar sains-teknologi-modernitas, 'mengkuno-kunokan' agama dan 'menganggap terbelakang' para pemeluknya.

Syaikh Bakr bin Abdillah, seorang ulama Sunni dari Arab Saudi mengatakan, "Hati-hati! Jangan biarkan dirimu menjadi Abu Syibr (Bapak Sejengkal). Seperti diketahui, pengetahuan terdiri dari tiga cabang (tingkatan):
Orang yang memasuki tahap pertama akan bangga, ketika dia mencapai tahap kedua dia memulai tawadhu' (kerendahan hati), dan siapa yang naik sampai hingga jengkal ketiga maka dia akan tahu bahwa dirinya tidak tahu ( karena begitu luasnya samudra ilmu).

Al-Khatib al Baghdadi (w.463 H), dalam kitabnya, al Faqh wa al Mutafaqqih, menceritakan bahwa seorang dari etnis Maghrebi (Afrika) datang untuk menanyakan masalah kepada Imam Malik. Imam Malik menjawab: "laa adrii" (saya tidak tahu). Orang yang terkejut berkata:
"Wahai Imam Malik, kamu bilang tidak tahu? Imam Malik menjawab:
"Yah, beri tahu orang-orang yang mengirimmu dari Afrika ke Madinah bahwa faktanya aku tidak tahu jawabannya."

Walter E. Williams, seorang ekonom dan cendekiawan Amerika, pernah berkata:
"Selalu curiga terhadap mereka yang mengaku tahu segalanya, bahwa cara mereka adalah yang terbaik; dan mau memaksa kita semua" (Selalu hati-hati terhadap mereka yang berpura-pura tahu segalanya, menganggap cara mereka adalah yang terbaik, dan memaksakan cara mereka pada kita semua).


Akhirnya, terpikir oleh saya bahwa seorang pembaca artikel ini mendekati saya dan berkata: "Kang, semua orang tahu bahwa 'sengaja' itu salah, membuat kesalahan itu tercela. Menulis kesepian seperti ini hanyalah unjuk pengetahuan, disertai kesombongan?"
Whihihi.... wkwk..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun